Label:

Hingga Matahari Tenggelam Di Timur Semesta

Beberapa waktu tidak bisa ku prediksi dengan baik. Memahaminya seperti berjalan melawan arah eskalator. Berhenti dan menyerah begitu saja seperti ditampar beribu sandal jepit mamakku. Aku dibuatnya seperti layang-layang putus. Seperti memakan simalakama.

Aku bukan tidak berusaha. Aku hanya lelah tapi tidak ingin berhenti. Aku ingin melanjutkan namun tak temukan jalan. Bagaimana aku bisa lancar bernapas sementara tak satupun celah kutemukan? Yah, begitulah filosofinya.

Mencintaimu seperti menghadap tiang gantungan. Aku seperti terdakwa hukuman mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara teriakan mereka begitu keras; meneriakkan bagaimana kepayahanku sendiri. Meneriakkan bagaimana seorang perempuan sok jago akhirnya dibuat bingung sendiri. Aku benci pada situasi seperti ini. Kamu ada tapi tak bisa kulihat. Jalan menujumu begitu terang tapi kaki ini enggan melangkah. Tanganmu bebas ku genggam tapi kamu tetap tak tergapai. Bisakah kau bayangkan ini semua sungguh mengesalkan?

Dan sosok lain mulai menjadikanku obyek dalam kepalanya. Sosok lain mulai mengetuk, sementara telingaku terlalu tuli untuk membukakan pintunya. Sosok lain bolak-bolak di depanku dan aku hanya melihatmu sudut terjauh bola mataku sanggup memandang. Bisakah kau bayangkan bagaimana rasanya menjadi aku?

Hingga musim di negeri ini menjadi empat, dan hujan yang turun lebih deras dari aliran sungai, dan matahari mulai menenggelamkan dirinya di sisi timur semesta, mungkin kamu akan terus betah berdiam di pojok tergelap setiap aliran darah tubuhku.

---Modisty

5 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.