Otakku serasa membeku ketika kalimat 'aku sayang kamu, Sif. Entah karena apa..dan aku gak ingin tau alasannya' yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Seperti tidak ada beban, seperti tulus dari hatinya, dan seperti..seperti tidak ada Emil. Sebisa mungkin ku sadarkan diriku, menarik kembali bahagia yang sempat menguap.
Tidak. Tidak mungkin, tidak semestinya begitu, Ri.
"Ri.. aku.."
Tanpa kuperintahkan, kedua kakiku melangkah dan cukup keras badanku menubruk bahu Ari yang tadi berdiri di hadapanku. Aku berlari masuk ke dalam rumah tanpa menutup pintu depan, tempat di mana Ari masih berdiri menunduk. Pertanyaan khawatir dan tatapan heran dari Mama dan kakakku tidak kupedulikan. Aku masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. Di saat seperti ini..aku benar-benar berniat agar alien atau makhluk luar angkasa apa saja menculikku dan membawaku pergi dari bumi untuk sementara. Atau membantingkan kepalaku pada tembok beton dan ingatanku hilang untuk saat itu saja. Siapa sajalah, katakan padaku bahwa ini mimpi!
Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh!
Mengapa kamu harus mengatakan hal itu, Ri?