Label:

ALIF 2


ALIF 2


“Thank you for seeing museums in me, when i saw empty hallways.”

-Unknown-


Mereka bilang seperti mandiku, kamu muncul sekali-sekali.

Ceritanya dimulai di bawah atap-atap sekolah kita yang tua. Di sela-sela udara yang berembus dari dahan-dahan pohon ketapang menuju lorong-lorong itu, adalah kita yang tak saling bicara. Itu sehanya perjumpaan yang langka. Itu ialah bertokoh aku si malu-malu. Hobinya menyembunyikan diri, memandangimu jauh-jauh. Mengintip, meringis, memerah sedikit-sedikit, berdrama dari balik punggungmu yang lebar dan sibuk. Hubungan tak jelas itu berakar dari, antara kamu yang pura-pura atau benar tak tahu, atau aku yang kejagoan memainkan peran sebagai agen rahasia anarkis yang keras kepala. Maunya biar kamu tak usah sadar saja, maunya biar aku saja yang terus menyayangimu cupu-cupu. Kamu jadilah si Alif yang selalu mengagumkan orang-orang, yang banyak tertawanya tetapi tak bisa sering-sering tertawa bersamaku, yang aku akan absurd jadinya kalau tahu-tahu bilang, “ayo, kita pulang bareng dan makan mi tek-tek terenak sekota di ujung jalan sana.” Kamu kakak kelasku... mashaa Allah, bisa apalagi aku?

Cerita kita barangkali tak cukup menarik dijadikan bahkan sekadar skenario drama bersambung televisi yang paling receh. Apalagi menjadi sebuah opera sabun bertiket jutaan rupiah. Ini cuma perasaan serba salah yang lahir berkat obrolan-obrolan gaib di dalam layar telepon genggam. Perasaan yang terus tumbuh di antara derap langkah tergesa waktu pergantian pelajaran. Perasaan yang terus tumbuh meski rindu mesti mencari-cari redanya sendiri di sepanjang apel pagi. Perasaan yang terus saja mau tumbuh di ruas-ruas gerimis waktu jam pulang sekolah tiba dan kita berdiri berseberangan, berjauhan, berteduh masing-masing di tepian parkiran sekolahan, menanti hujan dan debaran dada mereda. Perasaan itu bahkan masih akan tumbuh tanpa peduli sama sekali bila hal-hal terburuk juga mungkin saja terjadi. Ada kedatangan ada kepergian. Ada yang bisa tumbuh, ada yang bisa layu.

Kita cuma apa, kata kita waktu itu, cuma mendebatkan terlalu banyak hal di terlalu banyak tempat di dunia maya, untuk lalu menyetujuinya. Kita cuma menertawakan lebih banyak lagi yang dilupakan orang-orang. Kita membuat simpul-simpul serupa dari sisi-sisi berbeda. Kita memang tak selalu sepakat, tetapi sepertinya kita sudah sepaket, begitu cetusmu dulu, menggemaskan di suatu waktu.

Kita cuma apa, cuma dua anak manusia yang masih amat batu kepalanya, banyak gayanya, besar angkuhnya. Manis, aku masih mampu dengan manis mengenangnya, meski tak  benar-benar mengingatnya.

Aku waktu itu memilih percaya kalau tak ada tak sengaja berlangsung di dunia ini. Tak ada juga yang dinamakan Tuhan kebetulan. Segalanya telah tercatat bahkan ketika kita berusia empat bulan dalam kandungan. Keajaiban-keajaiban ini ialah kumpulan rencana yang sukses dan menyenangkan dilaksanakan. Tetapi pun aku tahu, hidup tak pernah seserius itu. Aku waktu itu juga berpikir, kamu dan kebetulan-kebetulan yang merdeka bersama-sama kita bisa menjadi yang termanis yang bisa diadakan di muka bumi. Perlahan-lahan hanya seperti hal-hal baik diruntuhkan di tengah-tengah kita. Hujan sudah lama tak berkunjung datang, namun pelangi nyatanya bisa berada di mana-mana sekarang. Memenuhi sudut-sudut kota kita, eh, mu, kota kecilmu. Pelangi baru saja memenangkan pertarungan melawan kekeringan kemarau panjang. Pelangi juga yang menyejukkan isi kepala yang mendidih akibat kebanyakan ulangan harian. Pelangi baru kali ini kutahu sanggup sehebat itu.

Aku waktu itu berpikir, kita juga telah memenangkan seluruhnya.

Aku waktu itu berani-beraninya berpikir, aku suka, kamu suka, bisa apalagi kita?

Tak ada yang tahu siapa datang lebih dulu. Tak ada yang paham siapa mencari siapa. Tak juga mau peduli, aku katakan lagi, perihal rencana-rencana kehidupan yang ada jahat-jahatnya. Ada yang bisa menyakiti sedang yang lainnya merasa terluka. Lucu sekali, Alif, bahwa aku bisa-bisanya merasa mau serahkan segala yang kupunya agar selamanya kita dan kebetulan-ketulan itu terus berlangsung begitu saja.



Lasem, 8 September 2017
A Modisty

0 komentar
Label:

ALIF


ALIF


“I don’t believe in magic,”
the young girl said,  i smiled,
“you will, when you see him.”

-Atticus-


Namamu Alif?

Tahunya beberapa waktu lalu. Tahunya tiba-tiba, bagai pekikan petasan di malam-malam jelang lebaran. Tahunya kemudian tak begitu kurus. Tahunya modus. Tahunya tetapi entah kenapa aku bisa suka. Tahunya sebabnya hal-hal bekerja di luar duga. Tahunya kereta Shinkansen Jepang punya saingan; waktu, melesat bak kilatan cahaya pasca jepretan kamera tua.

Si waktu waktu itu ialah sebuah hari libur yang malas-malasan. Si pemalasnya aku, menemukanmu dalam kesadaran yang setengah-setengah. Akunya sebangun tidur itu, kamunya yakni jam alarm yang ditinggalkan malaikat Jibril dari dalam mimpi. Aku sudah seperti nabi yang mendapatkan wahyu, sejak saat itu, aku hanya tahu aku mendapatkan yang mengubah seluruh kehidupanku, aku mendapatimu.

Kejadian kemudian seperti direstui kebetulan-kebetulan. Jemari yang sampai kaku-kaku di atas papan ketik. Bercangkir-cangkir kopi habis tertelan berdetik-detik. Seberlebihan itu, semenyenangkan itu pun. Kita ialah yang tak sudi menerima kritik; begini memang sudah seharusnya, seharusnya memang begini. Bertanya-tanya perihal mengapa kita berhadir di nomor-nomor terakhir dalam daftar isi, berkeras ini semua terlambat terjadi. Bertanya-tanya sendiri juga lalu aku, siapa kamu jadi aku merasa mesti mengingat-ingat setiap bagian badan kejadian? Aku bukan perempuan yang hobi mencari, tetapi kemunculanmu yang seperti aku menemukan kelegaan.

Namamu Alif? Itu menjadi empat huruf yang susah dilupa... kenapa tak Udin, Tono, atau si Budi? Kenapa tak yang selainnya Alif biar aku bisa lupa?

Aku senang sekaligus mencoba dan gagal paham kenapa aku mulai menuliskanmu dalam hal-hal, berlembar-lembar. Lebih sering, lebih parah, lebih indah. Mengikhlaskan bagimu pertanda-pertanda mengenai kebekuan dalam hatiku yang mulai terpecah. Sampai akhirnya aku menyadari aku sudah mau lagi menjadi perempuan yang dicari-cari, maafkan aku berani sekali berpikir kita begitu mungkin dan telah baik untuk menjadi sesuatu yang seperti itu. Aku tak pernah mampu lagi terlihat waras. Aku gemarnya menjelma orang gila yang tersenyum-senyum sendirian. Si waktu-waktu tadi kini telah lebih ramah lingkungan, perannya bukan lagi sekedar yang hobi disalahkan dalam tulisan-tulisan berisi kesedihan. Si waktu-waktuku amat menyenangkan. Si waktu-waktuku sepersis si dia. Si dianya kamu. Aku bersyukur kepada Allah sudah bangun kesiangan di hari libur yang malas itu demi supaya diketemukan kamu. Adakah suratan kehidupan yang lebih indah lagi dari itu?

Aku senang diketemukan kamu. Aku mau lagi. Aku mau terus.

Namamu benar-benar Alif? Soalnya biar pucuk-pucuk rinduku tak salah alamat bila sewaktu-waktu ia sudah bisa kumat.



Lasem, 31 Agustus 2017
A Modisty

0 komentar
Label:

Kejauhan, Kelamaan, Kerinduan

Kadang, aku benci harus menemukanmu sekarang. Ketika aku sudah didahulukan banyak waktu dan keadaan. Bukan aku lagi yang menyaksikanmu tumbuh dan menguat. Bukan karenaku lagi senyum dan tawamu terbuat. Kadang juga aku benci mengetahui apa-apamu telah banyak berubah sejak terakhir kali kita menghadapi dunia bersama-sama. Ini memang egoku yang sedang bicara, tapi kamu harus dengarkan dan paham, rasanya sedikit sedih ketika di jumpa yang kuamin-amini ternyata kamu sulit untuk kukenali.

Kamu tau, aku ketemu orang-orang yang aku cinta dan cinta aku selain kamu. Tapi nggak ada dari mereka yang balik cinta aku kayak yang selalu kamu lakuin dulu.

Ini lucu. Waktu kamu sudah begitu jauh dan aku tetap mau mendoakanmu dengan kekuatan yang dipunyai orang-orang yang sedang jatuh cinta. 

Dan malam ini, begitu tiba-tiba datangnya sebuah ingin untuk menghadirkanmu kembali. Padahal seharian ini langit cerah. Biru, tidak ada mendung. Meski sama membosankannya, tapi hidupku tadi ini baik-baik saja. Aku tetap tidak bisa ngerti hal-hal aneh seperti kenapa kamu mesti muncul bahkan di waktu-waktu aku tidak ingin ada kamu. Meskipun di tempat terkecil dan tergelap diriku aku selalu mau mengaku kalau aku rindu.

Tapi apa artinya itu semua sekarang? Waktu, lagi-lagi, keberadaanku tidak pernah kamu setujui. Apa artinya bila di segala waktu nyatanya kamu memang sudah lupa ingatan. Kapan sih kamu mengalami kecelakaan atau kepalamu terbentur dan kamu kesakitan? 

Karena rasanya yang kuintip kamu hanya berisi hal-hal baik dan selalu berbahagia. Karena rasanya doa-doaku dikabulkan Tuhan. Kamu bernapas di sana dan baik-baik saja.

Aku berharap, di atas segala pengharapanku yang terlalu sering, semoga kita bisa diketemukan lagi. Bahkan walaupun nanti seandainya saat itu benar-benar tiba, aku nggak ngerti gimana harus bersikap dan menghadapi kamu dengan muka yang biasa. 

Aku berdoa, selalu berdoa agar semua detik dalam hidupmu bisa membuatmu menjadi pribadi yang selalu mengagumkan. Aku berdoa kamu selalu berbahagia dengan siapapun kamu di sana. Aku berdoa, benar-benar memohon kepada Tuhan agar kamu dikuatkan untuk setiap kerikil-kerikil kecil di sela-sela langkah kakimu yang besar. Aku tidak pernah lelah meminta agar kamu selalu dihebatkan.

Karena bagaimanapun aku sudah tidak lagi bersama dan mengenalmu.

Dan mungkin karena aku cuma perempuan biasa, yang aneh, bingungan, dan sering berantakan, yang akan selalu senang kalau kamu senang.



Modisty,
Wonosobo, 21 Juni 2017.

0 komentar
Label:

Suratnya Indiana, buat Dia.

Ini petang yang lebih berantakan daripada biasanya. Di teras belakang rumah dan tangannya yang gemetaran, sebuah kertas putih terbentang tanpa bisa diam. Ini aneh dan ia tidak mengerti. Kenapa dadanya mulai sesak. Kenapa perasaannya bilang sesegera ini ada yang akan terulang. Ini lucu. Menyadari ia sendirian, ketika mungkin begitu banyak hal akan menyerbu datang.

Ia mungkin tidak siap dengan beberapa kemungkinan. Barangkali bahkan kenyataan. Tapi di sisi lain hatinya, ia berdoa semoga ini akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlalu lama didiamkan waktu dan keadaan. Yang mungkin selama ini justru ia sembunyikan.

Napas tertarik panjang. Semoga Tuhan bersamanya.

.
***


Hei,


Aku nggak akan bilang ini aku dan nggak akan tanyakan kabarmu. Aku punya harapan dan keyakinan kamu akan dan selalu baik. Jadi ini mungkin adalah surat paling basi yang pernah aku tulis dan kamu punyai.

Sepanjang ini, surat sepanjang inilah yang isinya betapa aku bisa juga menjadi perempuan. Yang lebih dari malu untuk bicara langsung, dan cukup memalukan sampai harus mengirimkan kepadamu amplop putih kaku yang konyol.


Aku sepenuhnya hanya berisi kenangan dan hal-hal lain yang sama membosankan. Kamu salah kalau memilihku. Kamu benar karena tidak memilihku. Ini rasanya, karena sebagian besar isi dari otakku yang kecil ialah bukan masa depan, tapi masa lalu. Juga karena terkadang, di beberapa waktu, aku terlalu mencintai ia daripada perasaanku pada masa sekarang dan masa depan. Sekalipun itu kamu, aku nggak bisa janji untuk mencintai tanpa benar-benar melepaskan apapun dari masa sebelum ada kamu.

Aku mengerti, kadang-kadang, pada rasa takut akan kemungkinan waktu membinasakan apa-apa yang justru kuharapkan. Atau tentang perubahan yang tidak semestinya, di kamu dan segalamu, atau mungkin malah aku, atau keadaan yang melakukannya sebelum aku bisa membereskan apa saja yang telah kubuat berantakan. Aku takut. Percayalah aku takut. Percayalah aku masih memiliki perasaan yang dulu kuagung-agungkan. Percayalah puing-puing rindu itu masih bisa untuk utuh. Percayalah karena sebenar-benarnya aku nggak pernah kemana-mana. Aku nggak pernah ingin juga kamu kemana-mana.

Tapi ini terjadi di luar duga, kendali dan inginku. Kamu harus tau aku sempat lebih dari pusing dan nyaris gila memikirkannya. Memikirkanmu. Waktu pergimu bukan lagi sesuatu yang bisa kubiar dan hentikan. Waktu hujan badai rasanya nggak seberapa menakutkan. Waktu-waktu di mana aku ingin jadi orang paling kaya dan berkuasa sedunia untuk bisa membeli semua waktu yang kita pernah punya. Untuk lalu bisa kubolak-balikkan semauku. Untuk bisa kembalikanmu.

Percayalah, demi Tuhan kita percayalah, aku punya waktu-waktu dimana aku mau memberikan segalaku untuk kembalikan kamu. Percayalah aku pernah berada di saat-saat seburuk itu.

Tapi lalu, lagi-lagi, bukan aku yang pegang kendali. Allah Maha Memperbaiki. Allah mengerti dan ternyata tangan-Nya lah yang kunanti-nanti. Kamu tau, ternyata omongan orang-orang yang dulu sering kita masabodokan bisa benar. Mereka semua kini benar. Kalau waktulah yang sembuhkan luka. Meski ia tidak bisa menghilangkanmu, tapi ia cukup pintar sembunyikanmu. Aku sekarang, menjalani hidup senormal yang paling kubisa untuk terus menjadi perempuan kecil yang suatu hari nanti kamu sulit mengenalinya lagi.

Aku tumbuh, kamu tau, aku bisa bergerak darimu dan kotak kecil kenangan kita yang sempit. Ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi kamu harus tau aku bisa melakukannya tanpa bantuanmu. Pertama kalinya dalam hidupku semenjak bertemu kamu, aku bisa melakukan hal aneh tanpa bantuanmu. Bisa melupakanmu tanpa bantuanmu.

Terus sekarang, aku punya kehidupan yang baik. Seperti yang sudah-sudah, hidupku masih ajaib. Hal-hal luar biasa selalu Allah datangkan. Kini aku berada di tempat yang, insya Allah, disenangi Tuhan. Kini aku memiliki napas dan kedipan mata yang lebih berkualitas. Aku masih memilikimu di masa lalu tapi aku tidak kehilangan kesenanganku di masa sekarang. Aku hidup dan mensyukuri apa-apa yang kupernah dan sedang kupunyai. Jadi, sekalipun itu kamu aku nggak bisa janji untuk kembali mencintai tanpa benar-benar melepaskan apapun lagi.


Dan lagi yang paling penting, saat-saat ini aku hanya akan memperbaiki segalaku. Biar nanti kalau kita memang harus kembali bertemu, aku hanya punya hal-hal yang bisa membuatmu kembali jatuh cinta dan senang. Lebih dalam jatuh cinta kepadaku hingga rasanya kamu nggak akan minta apa-apa lagi dari dunia kecuali aku. Dan kupikir rasanya kamu juga harus begitu. Kita akan punya cerita lain yang jauh lebih keren dari yang bisa kita bayangkan.

Juga, karena sekarang aku hanya ingin mencintai Allah saja. Menemukan Allah dulu, baru kamu. Dekat dengan Allah dulu, baru kamu.

Allah dulu, ya, baru kamu.

Begitu, semoga senang dan Allah selalu bersamamu.


Indiana, Lasem 2017.


***

0 komentar

Kamu Tahu yang Namanya Hampa?

Halo, ini postingan kedua setelah sekian lama kita tidak berjumpa , ya? Hahahaha oke, oke ini lebay, tapi, kamu tahu gak yang namanya Hampa?

Ketika kamu nggak bisa lakuin apa pun. Ketika kamu nggak bisa ngomong seperti kamu biasanya ngomong. Ketika kamu merasakan lebih sedikit perasaan setiap harinya. Ketika kamu pikir ketawa adalah suatu keajaiban. Dan senyum adalah mukjizatnya.

Hampa ketika kamu pikir waktu dua puluh empat jam itu terlalu banyak. Ketika kamu pikir siang terlalu lama dan waktu tidur rasanya nggak pernah cukup. Ketika kamu lebih baik terus tidur, bahkan kadang merasa nggak ingin bangun lagi.

Hampa datang ketika kamu melihat dunia begitu luas tanpa bisa kamu sentuh. Hampa ketika kamu menuduh Tuhan jahat. Hampa ketika yang bisa diperbuat hanya berdiri di belakang jendela kotak tempurungmu, sambil mengkhayalkan banyak sekali hal menakjubkan. Bahkan melihat keramaian bisa kamu sebut hal menakjubkan.

Hampa sulit disembuhkan. Ketika tidak ada yang bisa mengusirnya meski mereka saling memberimu semangat. Ketika guyonan rasanya terlalu hambar tanpa langsung bertatap muka. Ketika suara sahabatmu di ujung sana terdengar seperti nyanyian surga. Hampa hanya takluk kepada dua perihal; doa dan jumpa.

Kamu sudah mulai tahu yang namanya Hampa?
Karena aku lebih dari kenyang merasakannya. Karena setiap hari menu makanku lebih banyak Hampa daripada nasi. Karena rasanya seperti menemukan pribadi baru untuk diriku sendiri. Pribadi yang menjijikan karena terlalu pendiam dan kalem sekali. Pribadi yang sama sekali bukan diriku. Hampa tunjukkan kepadaku pentingnya merasa bahagia di saat berada bersama orang banyak.

Kalau kamu sudah sepenuhnya tahu apa itu Hampa, kamu pasti setuju rasanya lebih nggak enak dari lihat mantan tersayang keluar dengan orang lain. Kamu pasti yakin ini lebih buruk daripada patah hati. Kamu pasti akan lebih memilih sakit hati dan nangis berjam-jam daripada merasakan kehampaan. Kamu pasti ngerti, Hampa berarti kosong. Nggak ada perasaan apa pun, biarpun itu benci kepada musuh bebuyutanmu di sekolah dulu. Nggak ada perasaan apa pun, biarpun itu kesal karena dimarahi gurumu. Kamu pasti nggak akan ingin duduk berdiam diri dan menuduh diri sendiri sebagai orang paling nggak berguna. Dan kamu pasti tahu yang dirasakan Ari Lasso saat menciptakan lagu Hampa yang terkenal itu. Kasihan Ari Lasso. Kasihan yang rasakan Hampa. Kasihan aku.

Hampa juga seperti wanita dalam lagu Ada Band: ingin dimengerti. Atau seperti kebanyakan laki-laki bilang tentang wanita, dan wanita bilang tentang laki-laki: susah ditebak, apa maunya sih?

Jadi aku nggak tahu kapan berakhirnya masa penjajahan ini. Kapan si Hampa mau pergi. Kapan aku keluar dari kotak tempurung bodoh ini. Kapan aku melihat dunia lagi. Kapan aku bisa pamer gigi untuk senyum dan tertawa lebar lagi. Kapan aku bisa jadi Indonesian Idol buat teman-temanku lagi. Kapan aku bisa saingan sama burung beo yang berisik lagi. Kapan aku bertemu nama-nama baru atau yang lama. Kapan aku mendengar suara selain doa-doaku sendiri. Dan kapan sih aku bisa balas dendam dengan si Hampa, tunjukkan aku sudah bisa bahagia.

Kapan, ya, kapan? Doakan aku, siapa sajalah!

Modisty
ditulis di Kalimantan Timur, 21 Desember 2016.

0 komentar

Sepahit Kopi Pagi

Ada yang aneh ketika aku menulis lagi. Perasaan yang lebih dari sedih, menerjang sepahit kopi. Aku senang, tapi aku sedih...

Tidak, tidak.

Yang benar, aku senang, tapi aku rindu.

Ya, aku rindu
Rindu penuh gemuruh
Rindu sampai melumpuh-lumpuh
Pada kamu, kamu, kamu, di hatiku.

Aku rindu
Rindu yang mengharu biru
Menerjang badai, menyebrang lautan
Melawan suratan, menyalahkan Tuhan
Padahal jarak tak jua berkurang
Pada kamu, kamu, kamu, di hatiku.

Aku rindu
Rindu separo gila
Berdarah-darah, berputus asa
Terisak tanpa suara, terisak yang paling parah
Padahal temu tak kunjung tiba
Pada kamu, kamu, kamu, di hatiku.

Aku rindu
Rindu terhebat, bak rindu Majnun kepada Laila
Rindu persis angka delapan, tak ada putus-putusnya
Rindu sejenis bunga melati, harum mewangi sepanjang hari
Padahal keterpisahan tak pergi-pergi
Pada kamu, kamu, kamu, di hatiku.

Aku rindu, Sahabatku, sumpah dan sungguh
Merindukanmu seperti cintanya Muhammad kepada Tuhannya
Merindukanmu seperti sesalnya Adam dan Hawa atas surga
Merindukanmu seperti tunduknya alam semesta kepada Pencipta
Sepanjang masa, tak terhingga, luar biasa.

Aku rindu
Rindu padahal kau belum tentu begitu
Rindu dan tetap rindu, rindu, rindu
Pada kamu, kamu, kamu, di hatiku.

Rindu yang sedih. Rindu sepahit kopi pagi.


A. Modisty
ditulis di Kalimatan Timur, 13 Januari 2016.

2 komentar
Label: ,

Puisi Untukmu, Hati


Tiada yang lebih kucintai daripadanya, dulu
Berlari aku mencoba meraihnya
Teriak kupanggil namanya
Nyatanya memang sia-sia
Langkah ini bahkan tidak mendekat satu sentimeterpun
Suara ini tidak didengar
Lalu aku menjelma menjadi manusia super
Tidak peduli berapa pasang tangan yang menahan langkahku,
berapa pasang mata yang melotot galak,
dan mulut-mulut yang berbaik hati menyadarkan aku
Mengenai bintang yang tidak mungkin tergapai
Arus yang tak mungkin ku lawan
Semua berawal padanya
Juga berakhir olehnya
Sembilan puluh hari menyusuri lorong waktu
Tak membawa kita kemana-mana
Nyatanya memang sia-sia
Hingga aku paham, semua ini bukan untuk disadari
Tapi untuk kumengerti
Bahwa satu-satunya hati yang kujaga, sudah melarikan diri
Dan tangan yang berusaha kugenggam, telah lama melepaskan
Ini puisi untukmu, Hati
Maafkan tuanmu yang bodoh ini
Maafkan masa lalu kita
Maafkan yang tidak tergenggam
Ini puisi untukmu, Hati
Lekas sembuh dan berbahagia kembali.


Banjarbaru, 6 Juli 2015
A. Modisty

3 komentar
Label: ,

Kepada Yang Tak Tersentuh

Kepadamu yang pernah ada, tidak pernah bosan aku memikirkan bagaimana cara berdamai padamu dan masa lalu. Kita memang tidak bertarung sampai berdarah-darah, tapi luka ini nyata dan pernah ada, bahkan masih. Kita memang tak saling benci, tapi diammu jauh lebih menyakitkan. Mungkin ada hal yang tidak kupahami di masa lalu, pun beberapa persoalan yang belum kau tahu. Mungkin masa-masa itu hanya pantas untuk dilupakan, mungkin bahagia yang pernah terasa hanya pantas disingkirkan, dan senyum di bibirmu yang pernah kusebabkan, mungkin telah tuntas kau hapuskan.


Tapi percayalah, tidak sedikitpun kenangan bersamamu yang sanggup kubuang.


Mata ini memang tak lagi basah. Hati ini jauh lebih dewasa. Tapi maafkan bila jemariku tak bisa berhenti menuliskanmu. Karena sungguh, sudah sejauh inipun kamu masih menjadi buah pikirku.


Kamu inspirasi.


Kepadamu yang tak tersentuh, aku geli membayangkan bagaimana bisa seperti ini. Dulu kita sanggup menghabiskan malam hingga pagi tiba. Kita pernah bersikeras menolak kantuk. Kita pernah lupa bagaimana caranya berhenti berbicara. Kita tidak pernah bisa menghabiskan kopi tanpa menunggu matahari menyapa lagi. Malam semakin melarut, sementara tawa tak mau surut. Kita lupa diri, bahwa perpisahan bisa terjadi kapan saja.


Kepadamu yang tak tersentuh, bolehkah aku tertawa? Bahwa untuk sekadar bertanya kabarpun aku tidak tahu caranya. Ini lucu, benar-benar lucu.


Kepadamu yang benar-benar tak bisa kusentuh, jemari ini memang takkan bisa berhenti menulis, doa-doa pun tak bosan mengiringi setiap langkahmu, aku akan selalu menjadi yang paling mengaminkan setiap harapanmu.


Masa bodo apakah perasaan ini masih ada, aku hanya mementingkan bahwa kamu yang pernah kusyukuri kehadirannya, kamu yang pernah ada, walaupun kini menjadi yang paling tak bisa kusentuh lagi.


Selamat berbahagia, sekali lagi yang tak tersentuh.


Banjarbaru, 6 Juli 2015


A. MODISTY

3 komentar
Label: ,

A Little Shitly Sweet Thing

Sebenarnya apa telah terjadi?
Selain aku mengakui dosa-dosaku, selain hal bodoh yang kulakukan padamu, selain kamu yang tiba-tiba pergi tanpa penjelasan dan kata-kata lain, apa yang sebenarnya terjadi tiga puluh enam bulan yang lalu?
Aku memang bersalah, aku bedebah pertama di antara kita. Aku mengakui dosaku, dan mengakui ini semua pantas ku terima. Tapi apa harus sesakit ini? Harus sepedih ini yang kudapatkan? Dan bukankah setiap manusia mudah bahkan pandai melakukan kesalahan? Dalam mencintaimu, aku seperti harus selalu benar.
Aku bukan Cinderella, gadis baik hati dan tulus hatinya. Yang tidak pernah melakukan kesalahan, yang selalu tampak sempurna dan pantas untuk pangeran. Aku hanya gadis yang belum seberapa dewasa, untuk tahu apa yang baik ku lakukan dalam sebuah cinta. Aku bukan siapa-siapa dalam hubungan ini, bahkan tidak untuk pangeran. Dan kamu, bukankah kamu juga bukanlah seorang pangeran?
Aku tahu, sadar, dan sekali lagi aku mengakui kebodohanku. Memperlakukan mu bukan sebagai kekasih yang semestinya, aku tau aku bajingan. Aku sadar yang kuperbuat adalah menyia-nyiakan seorang yang ternyata sangat mencintaiku, menyia-nyiakan seorang yang ternyata juga sangat kucinta.
Bukankah sudah beribu maaf, sudah berkali ku katakan maafkan aku. Sudah kukatakan penyesalan itu, tidakkah semuanya terlambat?
Aku hanya mencari cara, agar aku terbebas dari perasaan kurang ajar ini. Aku lelah. Kamu seperti mengutukku, membuatku merasa berdosa selamanya. Aku ingin terbebas, sayang. Tak apa bila aku tidak memilikimu. Tak apa perkara kamu sampai mati bersamanya. Tak apa bahkan bila kamu benar-benar membenciku. Tak apa bilapun selamanya perasaanku hanya bertepuk sebelah. Asal tidak maafku. Aku mohon jangan abaikan maafku.
Aku perlu maafmu. Lalu aku kan memaafkan diriku sendiri.
Tolong jangan senyum dan berdiam, lalu pergi begitu saja. Aku tahu kamu sibuk dengan masa depan dan kebahagiaanmu. Aku tahu wanitamu banyak menyita waktu. Aku tahu banyak maaf sudah pernah kau berikan padaku dulu.
Tapi kumohon maafkan aku, sekali lagi, dan tak apa bila untuk yang terakhir kali, maafkan aku.
Aku lelah, demi Tuhan aku lelah.

Banjarbaru, 14 Mei 2015
AMODISTY

0 komentar
Label:

Terimakasih, Ka.

Akhirnya kita tiba di akhir cerita.


Terimakasih telah bermain dalam drama ini. Terimakasih tak pernah bosan. Terimakasih untuk menjadi yang selalu ada. Terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki.


Akhirnya kisah ini usai. Persahabatan ini menemui titik jenuh. Setelah sebuah jujur tersampaikan, setelah bertahun-tahun kita jalani dengan bahagia. Persahabatan yang seperti tidak ada habisnya, ternyata menyerah di sini. Persahabatan yang terasa selamanya, ternyata harus mati. Mungkin bagimu ini akan baik-baik saja, aku juga selalu berdoa demikian. Tapi bagaimana? Aku ternyata tidak cukup kampret seperti yang kau kenal, aku tidak sebaik-baik itu. Tidak sebaik-baik kamu.


Bagaimana bisa? Aku yang sanggup menghapus airmata tiga tahun lalu. Aku sanggup melupakan kenyataan bahwa aku bisa menangis setelah tiga tahun lalu. Lalu dimulai malam tadi, kedua pelupuk ini tak bisa bertahan tetap kering. Bagaimana bisa? Aku yang katamu perempuan paling brengsek yang pernah ada, akhirnya menyerah dan menangis yang juga karenamu. Lihat, siapa yang brengsek sekarang?


Sungguh, aku juga tidak mau ada airmata. Aku tidak mau menangis karenamu. Karena kamu tidak pernah menyakitiku, kamu tidak sebrengsek itu. Sungguh, kamu sahabatku. Kamu salah satu alasan aku bertahan di kota ini. Kamu alasan aku ingin berbahagia lebih lama di sini. Kamu alasan aku bisa melupakan luka-lukaku.


Tapi mengapa? Mengapa pada akhirnya justru kamu penyebab hujan di saat-saat terakhir? Mengapa aku sebodoh ini? Mengapa kita setolol ini? Mengapa harus mengatakannya setelah lama ada dia? Setelah kalian bersama dan kamupun mencintainya. Mengapa harus kamu katakan sekarang? Mengapa harus tetap kau katakan meskipun semuanya lebih dari terlambat!


Harusnya tidak perlu ada kejujuran. Harusnya kamu tidak perlu mengakuinya! Bahwa pernah ada perasaan yang sama yang pernah aku rasakan. Bahwa jenis rinduku pernah kau balas. Dan katamu aku adalah yang pertama?


Omong kosong.


Aku tidak ingin mempercayainya. Aku benci mendengarnya. Tapi itu semua kamu yang mengatakan. Itu semua keluar dari mulutmu. Orang yang kupercaya. Orang yang kusayang. Sahabatku.


Tapi kamu pun tahu, semua ini tidak berarti apa-apa lagi sekarang. Semuanya terlalu terlambat. Perasaan kita telah habis dimakan jaman, mati ditelan waktu. Bahkan ia tak cukup sanggup berlari mengejar pesawatmu.Ini semua tinggal omong kosong yang tidak bisa kulupakan. Yang hanya akan kusesali, sejak semalam dan akan selamanya.


Kamu tidak akan kulupa.

Entah bahagia atau luka yang mendiami hati ini. Aku tahu aku bahagia, pernah dicintai olehmu, pun yakin setidaknya kamu masih mencintaiku sebatas teman dekat. Tapi maaf aku juga tidak bisa menolak luka.


Ini betul-betul menyakitkan.


Sekarang maaf. Maaf mungkin aku membuat luka dan kecewa. Maaf tidak bisa menjadi sahabat yang baik. Maaf untuk perasaan ini. Atau mungkin juga... maaf telah hadir di hidupmu.


Karena pada akhirnya, aku tahu hanya akan ada dia.


Baiklah, kita benar-benar tiba di akhir cerita? Terimakasih untuk perannya. Terimakasih telah sudi bermain dalam drama ini. Terimakasih tak pernah bosan. Terimakasih untuk menjadi yang selalu ada. Terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki,


terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki,


terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki.


Aku berdoa kamu selalu bahagia, dimanapun dan dengan perempuan seperti apapun. Aku yang paling ingin kamu bahagia. Aku yang paling berdoa Tuhan selalu menerangi jalanmu.


Dan seperti katamu, entah kapan dan di mana, aku berdoa semoga Tuhan mengizinkan sekali lagi pertemuan, entah dengan kisah yang bagaimana.


Sampai jumpa di lain cerita, Ka.


Yang selalu merindukan, Modisty.



Banjarbaru, 11 Juni 2015.

0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.