Label:

"Hidup itu seperti kopi. Kalau ketemu pahit-pahitnya ya nikmatin aja" -modhistut, on twitter

1 komentar
Label:

Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah? #3, END



“KAMU GILA! Nggak mungkin.. bilang sama aku kamu hanya bercanda. Bilang, Nabil, bilang!”

Aku menunduk. Tubuhku kaku di tempat. Sekedar mengangkat kepala dan memandang kemarahannya saja aku tidak berani. Aku pengecut di saat-saat seperti ini.

“Nabila..”

“maafkan aku, Jo..” potongku cepat “aku tau aku salah karena memberi tahumu setelah semuanya terlambat untuk dibatalkan. Maaf.. aku.. aku hanya merasa inilah yang harus aku lakukan. Ini.. ini karena aku

3 komentar
Label:

Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah? #2



“kalian.. mau apa ke sini?”

Christopher, kakak tertua Jonathan berdiri dan berkata dingin. Di sampingnya, Priscilla, kakak keduanya ikut berdiri. Memandang kami tidak bersahabat. Terlebih kepadaku. Kuremas jemari Jo di tangan kananku. Memohon untuk menguatkan aku.

“kami cuma mau melihat keadaan Mama”

“lo masih inget Mama? Masih inget keluarga?” kata Priscil tajam

“kak, tolong.. biar sebentar. Jo juga mengkhawatirkan Mama, bagaimana pun Jo masih keluarga ini”

“setelah enam tahun lamanya ninggalin rumah demi perempuan macem dia, gitu maksud lo?” tandas Chris tajam “Mama begini juga karena lo. Dia mikirin lo yang malah memilih hidup dengan wanita seperti dia.”

Jonathan tidak menjawab lagi,

0 komentar
Label:

Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah?

24 Juli 1999, Jakarta

Aku menatap ke luar jendela. Memandangi satu-per-satu bulir-bulir embun bening yang bergerak membelah dedaunan. Meluncur perlahan tanpa perlawanan. Seakan-akan ikhlas merelakan dirinya untuk jatuh dan akhirnya mengempas tanah. Hancur, tetap tanpa airmata.

Seandainya semudah itu.. seandainya aku memiliki keikhlasan sebesar itu..

Pandanganku beralih pada sebuah punggung yang membelakangiku. Berulang kali tangannya sibuk melepas dan menempelkan telepon genggam. Berulang kali, sepuluh, ah, bahkan mungkin duapuluh kali sebuah nomor mengabaikan panggilannya. Keringat sebesar-besar biji jagung bergantian timbul dan tenggelam dari pelipisnya. Aku yakin tangannya pun sudah basah oleh keringat dingin. Tidak diragukan lagi, raut wajahnya menunjukan kekhawatiran yang amat-sangat.

“gimana, Jo?”

6 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.