ALIF
“I don’t believe in magic,”
the young girl said, i smiled,
“you will, when you see him.”
-Atticus-
Namamu Alif?
Tahunya beberapa waktu lalu. Tahunya
tiba-tiba, bagai pekikan petasan di malam-malam jelang lebaran. Tahunya
kemudian tak begitu kurus. Tahunya modus. Tahunya tetapi entah kenapa aku bisa
suka. Tahunya sebabnya hal-hal bekerja di luar duga. Tahunya kereta Shinkansen
Jepang punya saingan; waktu, melesat bak kilatan cahaya pasca jepretan kamera
tua.
Si waktu waktu itu ialah sebuah hari libur
yang malas-malasan. Si pemalasnya aku, menemukanmu dalam kesadaran yang
setengah-setengah. Akunya sebangun tidur itu, kamunya yakni jam alarm yang
ditinggalkan malaikat Jibril dari dalam mimpi. Aku sudah seperti nabi yang
mendapatkan wahyu, sejak saat itu, aku hanya tahu aku mendapatkan yang mengubah
seluruh kehidupanku, aku mendapatimu.
Kejadian kemudian seperti direstui
kebetulan-kebetulan. Jemari yang sampai kaku-kaku di atas papan ketik. Bercangkir-cangkir
kopi habis tertelan berdetik-detik. Seberlebihan itu, semenyenangkan itu pun. Kita
ialah yang tak sudi menerima kritik; begini memang sudah seharusnya, seharusnya
memang begini. Bertanya-tanya perihal mengapa kita berhadir di nomor-nomor
terakhir dalam daftar isi, berkeras ini semua terlambat terjadi. Bertanya-tanya
sendiri juga lalu aku, siapa kamu jadi aku merasa mesti mengingat-ingat setiap
bagian badan kejadian? Aku bukan perempuan yang hobi mencari, tetapi
kemunculanmu yang seperti aku menemukan kelegaan.
Namamu Alif? Itu menjadi empat huruf yang susah
dilupa... kenapa tak Udin, Tono, atau si Budi? Kenapa tak yang selainnya Alif
biar aku bisa lupa?
Aku senang sekaligus mencoba dan gagal paham
kenapa aku mulai menuliskanmu dalam hal-hal, berlembar-lembar. Lebih sering,
lebih parah, lebih indah. Mengikhlaskan bagimu pertanda-pertanda mengenai kebekuan
dalam hatiku yang mulai terpecah. Sampai akhirnya aku menyadari aku sudah mau
lagi menjadi perempuan yang dicari-cari, maafkan aku berani sekali berpikir
kita begitu mungkin dan telah baik untuk menjadi sesuatu yang seperti itu. Aku tak
pernah mampu lagi terlihat waras. Aku gemarnya menjelma orang gila yang tersenyum-senyum
sendirian. Si waktu-waktu tadi kini telah lebih ramah lingkungan, perannya
bukan lagi sekedar yang hobi disalahkan dalam tulisan-tulisan berisi kesedihan.
Si waktu-waktuku amat menyenangkan. Si waktu-waktuku sepersis si dia. Si dianya
kamu. Aku bersyukur kepada Allah sudah bangun kesiangan di hari libur yang
malas itu demi supaya diketemukan kamu. Adakah suratan kehidupan yang lebih
indah lagi dari itu?
Aku senang diketemukan kamu. Aku mau lagi. Aku
mau terus.
Namamu benar-benar Alif? Soalnya biar
pucuk-pucuk rinduku tak salah alamat bila sewaktu-waktu ia sudah bisa kumat.
Lasem, 31 Agustus 2017
A Modisty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar