Label:

Terimakasih, Ka.

Akhirnya kita tiba di akhir cerita.


Terimakasih telah bermain dalam drama ini. Terimakasih tak pernah bosan. Terimakasih untuk menjadi yang selalu ada. Terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki.


Akhirnya kisah ini usai. Persahabatan ini menemui titik jenuh. Setelah sebuah jujur tersampaikan, setelah bertahun-tahun kita jalani dengan bahagia. Persahabatan yang seperti tidak ada habisnya, ternyata menyerah di sini. Persahabatan yang terasa selamanya, ternyata harus mati. Mungkin bagimu ini akan baik-baik saja, aku juga selalu berdoa demikian. Tapi bagaimana? Aku ternyata tidak cukup kampret seperti yang kau kenal, aku tidak sebaik-baik itu. Tidak sebaik-baik kamu.


Bagaimana bisa? Aku yang sanggup menghapus airmata tiga tahun lalu. Aku sanggup melupakan kenyataan bahwa aku bisa menangis setelah tiga tahun lalu. Lalu dimulai malam tadi, kedua pelupuk ini tak bisa bertahan tetap kering. Bagaimana bisa? Aku yang katamu perempuan paling brengsek yang pernah ada, akhirnya menyerah dan menangis yang juga karenamu. Lihat, siapa yang brengsek sekarang?


Sungguh, aku juga tidak mau ada airmata. Aku tidak mau menangis karenamu. Karena kamu tidak pernah menyakitiku, kamu tidak sebrengsek itu. Sungguh, kamu sahabatku. Kamu salah satu alasan aku bertahan di kota ini. Kamu alasan aku ingin berbahagia lebih lama di sini. Kamu alasan aku bisa melupakan luka-lukaku.


Tapi mengapa? Mengapa pada akhirnya justru kamu penyebab hujan di saat-saat terakhir? Mengapa aku sebodoh ini? Mengapa kita setolol ini? Mengapa harus mengatakannya setelah lama ada dia? Setelah kalian bersama dan kamupun mencintainya. Mengapa harus kamu katakan sekarang? Mengapa harus tetap kau katakan meskipun semuanya lebih dari terlambat!


Harusnya tidak perlu ada kejujuran. Harusnya kamu tidak perlu mengakuinya! Bahwa pernah ada perasaan yang sama yang pernah aku rasakan. Bahwa jenis rinduku pernah kau balas. Dan katamu aku adalah yang pertama?


Omong kosong.


Aku tidak ingin mempercayainya. Aku benci mendengarnya. Tapi itu semua kamu yang mengatakan. Itu semua keluar dari mulutmu. Orang yang kupercaya. Orang yang kusayang. Sahabatku.


Tapi kamu pun tahu, semua ini tidak berarti apa-apa lagi sekarang. Semuanya terlalu terlambat. Perasaan kita telah habis dimakan jaman, mati ditelan waktu. Bahkan ia tak cukup sanggup berlari mengejar pesawatmu.Ini semua tinggal omong kosong yang tidak bisa kulupakan. Yang hanya akan kusesali, sejak semalam dan akan selamanya.


Kamu tidak akan kulupa.

Entah bahagia atau luka yang mendiami hati ini. Aku tahu aku bahagia, pernah dicintai olehmu, pun yakin setidaknya kamu masih mencintaiku sebatas teman dekat. Tapi maaf aku juga tidak bisa menolak luka.


Ini betul-betul menyakitkan.


Sekarang maaf. Maaf mungkin aku membuat luka dan kecewa. Maaf tidak bisa menjadi sahabat yang baik. Maaf untuk perasaan ini. Atau mungkin juga... maaf telah hadir di hidupmu.


Karena pada akhirnya, aku tahu hanya akan ada dia.


Baiklah, kita benar-benar tiba di akhir cerita? Terimakasih untuk perannya. Terimakasih telah sudi bermain dalam drama ini. Terimakasih tak pernah bosan. Terimakasih untuk menjadi yang selalu ada. Terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki,


terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki,


terimakasih juga sebagai yang tidak mungkin dimiliki.


Aku berdoa kamu selalu bahagia, dimanapun dan dengan perempuan seperti apapun. Aku yang paling ingin kamu bahagia. Aku yang paling berdoa Tuhan selalu menerangi jalanmu.


Dan seperti katamu, entah kapan dan di mana, aku berdoa semoga Tuhan mengizinkan sekali lagi pertemuan, entah dengan kisah yang bagaimana.


Sampai jumpa di lain cerita, Ka.


Yang selalu merindukan, Modisty.



Banjarbaru, 11 Juni 2015.

0 komentar
Label:

Sebelum atau Sesudah Hujan

Salahkah bila menyayangi lebih dulu?
Menyimpan perasaan lebih dulu, dan menyadari sepenuhnya bahwa aku wanita? Salahkah memiliki rasa cinta yang tidak pada waktunya? Bukannya cinta tidak mengenal apapun? Bukannya ia boleh dimiliki siapa saja? Ia bahkan tidak bertanya apakah aku laki-laki atau perempuan, kan?
Bila ini semua mengenai luka dan resiko lainnya, coba biar menjadi urusanku saja.
Tapi mengenai ini tidak bercanda. Ini. Suatu perasaan yang mungkin tak masuk di akal. Perasaan yang salah kutempatkan. Yang terlambat kusadari, untuk bisa kucegah dan kubunuh lebih awal.
Maksudku, ini telah lama. Tepatnya, jauh lebih lama sebelum aku menyadarinya. Aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelum atau sesudah hujan. Atau di musim panas. Atau juga di musim aku malas makan dan malas bicara. Atau dia datang dari pertama tangan kanan ini menjabat tangannya? Dari kali pertama bibir ini tersenyum padanya? Atau satu detik setelah kami saling menyebutkan nama? Benarkan sudah selama itu? Sudah separah itu?
Tapi dia sahabatku.
Padahal aku tahu, sudah lama ada dia. Bersamanya ada dia. Padahal mereka sudah saling menemukan. Padahal aku yang turut mempertemukan.
Kini semuanya jelas.
Kini semuanya justru terasa lebih menyakitkan. Lebih baik aku tidak usah menyadarinya, jadi tak perlu repot-repot memikirkan apakah ia juga menyimpan hal yang sama. Lebih baik aku tidak usah tahu, jadi tak usah sibuk membayangkan betapa bahagianya bila rinduku dibalasnya.
Karena aku terlalu takut untuk berbicara. Aku terlalu takut pada sebuah jujur yang nanti akan memungkinkan beberapa hal  menyeramkan.
Akan ada yang hancur. Akan ada yg hilang.
Aku bahkan takut memikirkan kemungkinan aku atau dia yang akan pergi duluan.
Karena pasti perasaan ini butuh untuk disambut. Rindu ini perlu menuntut. Mereka bukan lagi anak bawang yang akan diam dan bersembunyi saja. Mereka menginginkan tuan, yang tidak bisa aku berikan.
Maaf, sepertinya kalian harus tetap berdiam diri.
Maaf, aku tidak ingin merusak apa-apa.
Maaf, karena dia sahabat.
Maaf, dia hanya akan tetap menjadi sahabat.
Maafkan aku, perasaanku.
Banjarbaru, 4 Juni 2015
AMODISTY.

0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.