Label:

Sorry, I Love Him So Much


“Fikah! Kak Ditto, Fik!”

Lamunanku seketika buyar. Tanpa sungkan, Arin menarik tanganku kasar dan membawaku sampai belakang pintu kelas yang terbuka sedikit.

Ssshh. Wangi itu datang. Wangi parfum yang sudah sangat kuhafal sejak ospek kira-kira satu tahun lalu. Tidak lama sesosok berbadan tinggi tegap dengan alis tebal dan hidung yang cukup dapat dibanggakan kemancungannya, lewat tak jauh dariku. Ia tertawa lebar bersama beberapa teman-temannya. Seperti biasa.

“Suer. Makin hari makin cakep aja manusia satu itu. Senyumnya selalu bisa bikin lutut gue lemes. Iya nggak, Fik?” Ucap Arin dengan mimik yang terlalu menggelikan untuk kujabarkan.

“Hmm.”

“Kabar terakhir yang gue denger, dia sekarang jomblo lho, Fik. Aah, nggak bisa bayangin gimana bahagianya gue kalo bisa jadi pacarnya.”

“Iya, terserah lo. Tapi plis lain kali nggak usah pake acara narik-narik gue segala. Sakit tau” Cibirku.

“Deuu.. sensi amat, non! Nggak ngerti kebahagiaan temen sendiri nih hahahaha” Sahut Arin lalu tertawa ringan.

Gue ngerti kok, Rin. Gue ngerti banget kebahagiaan lo tiap ada dia.
Tiap wanginya datang. Gue ngerti sengerti-ngertinya gimana bentuk bahagia lo itu. Karena gue juga ngerasain hal yang sama, bahkan sejak setahun lalu. Jauh sebelum lo milikin perasaan itu, kan?

***
Mungkin terlalu mainstream apa yang selama ini aku pertahankan. Terlalu sering muncul dalam lirik lagu, drama-drama melankolis, sampai sinetron yang episodenya hampir mengalahkan panjangnya gerbong kereta api. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku bahkan geli mengatakannya. Habis bagaimana lagi? Memangnya aku yang mengatur kapan perasaan ini datang? Atau bagaimana caraku memperlakukannya? Tidak, kan. Semuanya di luar kendaliku.

Masa-masa pertama aku mengenakan rok abu-abu berjalan sesuai seperti harapan-harapan konyolnya di bangku SMP dulu. Awalnya. Tapi kurasa yang terjadi selanjutnya sangat berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.

Apa?

Bertemu satu orang yang membuat jantungku selalu mendesak ingin melompat keluar. Iya.

Lalu aku jatuh cinta. Iya.

Yang tidak adalah mengenai ‘mengalami masa pendekatan yang romantis’ dan ‘berpacaran dengan cinta pertama yang menyayangi kita seperti kita menyayanginya.

Sialnya hal paling menyedihkan justru terjadi padaku; orang yang kusukai saja tidak tahu aku menyukainya.

Itu tidak tercantum dalam skenario manapun kehidupanku.

Kedengarannya tragis. Di mana kutemukan kenyataan memang tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Inginku dia tahu mengenai perasaan ini. Lalu membalasnya. Dan cerita cinta pertamaku tidak menjadi semenyedihkan sekarang. Inginku. Sayangnya aku tidak memiliki keberanian untuk muncul ke permukaan. Keberanianku tidak sebesar Arin yang sebentar saja sudah memiliki nomor telepon Kak Ditto. Aku lebih kepada sesuatu yang orang-orang bilang pengecut.

Aku mengenalnya. Dan bukannya dia tidak mengenalku. Tentu saja di mengenalku. Kami sama-sama menjadi anggota aktif dalam OSIS sekolah. Kami bahkan berada dalam satu divisi yang sama pula. Aku boleh sedikit bangga mengenai hal ini! Hahaha.

***
Hari-hari berjalan seperti kereta Shinkansen Jepang. Cepaaat sekali. Kata orang, itu berarti kita menikmati apa yang kita jalani. Berarti aku menikmati bagaimana aku mengagumi Kak Ditto diam-diam, dong? Menikmati setiap senyuman yang kuberikan pada Arin setiap kali dia menjerit kegirangan karena tidak sengaja bertatapan dengan Kak Ditto. Atau karena mention-nya dibalas Kak Ditto satu kali.
Padahal aku seriiing sekali bersitatap dengan seniorku satu itu. Entah tidak sengaja atau memang kami berjodoh (hehehe..). Untuk beberapa detik itu rasanya seluruh sendi-sendiku meluruh.
 “Tau deh, yang abis asyik ngobrol sama Kak Ditto.. Fikah makan temen ih” Celetuk Arin ketika aku baru saja meletakkan tas di atas meja. Rupanya dia melihat aku dan kak Ditto mengobrol tadi.
“Apaan sih lo. Dari pada makan temen, mendingan gue makan gado-gado Bu Is. Jelas-jelas kenyang ” Jawabku mencoba melucu.
Arin mendelik. “Terserah lo, ya. Yang jelas gue suka kak Ditto. Gue pasti bisa jadi pacarnya. Dan meskipun lo sobat gue, lo nggak boleh ngerebut-rebut kak Ditto! hahahaha” Ucap Arin lalu tertawa keras. Bisa kutangkap nada sungguh-sungguh dalam perkataannya tadi.

***
“Kamu tau cerita-cerita pengantar tidur? Indah-indah, kan?
Aku tak langsung menyahut ketika Kak Ditto menanggapi gurauanku (yang kubuat seolah bergurau, padahal sebenarnya tidak) mengenai Arin yang sangat menyukainya. Ya. Aku memutuskan mengubur saja perasaan ini hidup-hidup. Aku menyadari bahwa keberadaanku itu lebih dulu sebagai sahabat cewek manja bernama Arindra. Jadi, kalau hanya sekadar melupakan apa yang selama ini kusimpan untuk Kak Ditto, harusnya bukan perkara sulit. Kalau aku benar-benar sahabatnya.. dan tentu saja aku sahabatnya.
Lalu?”
“Sahabatmu itu cantik, sangat munafik bila kakak nggak mengakuinya. Lalu ibaratkan dia adalah putri dalam sebuah cerita pengantar tidur, dan kakak sebagai pengerannya. Kami bisa saja menjadi sebuah pasangan yang berakhir bahagia selamanya, seperti ending-ending dalam dongeng, kan? Tapi apa kamu ingat? Semuanya itu hanya cerita, fiktif. Khayalan. nggak mungkin terjadi di dunia nyata. Seperti itulah kira-kira perasaan kakak pada Arindra.” Kak Ditto tersenyum sambil mengambil selotip di sebelah kananku. “Mungkin ini sedikit kejam, tapi kakak sama sekali tidak pernah terpikir memiliki perasaan seperti yang Arindra miliki.”
Blam.
Aku tersentak kaget lalu menoleh ke arah pintu ruang OSIS. Begitupun kak Ditto. Seseorang terlihat berlari cepat meninggalkan tempatnya ‘menguping’ pembicaraan kami tadi.
“Arindra...” Gumamku lemas.
Sejak kapan ia di sana? Apakah cukup lama untuk mengetahui apa yang Kak Ditto katakan barusan? Marahkah ia padaku?
Aaaargh. Aku langsung pusing memikirkannya. Begitu banyak tanda tanya berputar-putar dalam kepalaku. Ingin sekali aku berlari mengejar Arin dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kakiku seperti kaku. Tidak bisa kugerakkan.
Nggak usah dipikirin, Fikah. Kalau memang dia mendengar apa yang kakak ucapkan itu bagus. Semoga Arin benar-benar memikirkannya. Bahwa apa yang kita inginkan, tidaklah selalu menjadi yang kita inginkan.” Ucap Kak Ditto seraya mengusap-usap bahuku.
Aku menunduk dan menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Yang kita inginkan, tidaklah selalu menjadi yang kita inginkan.
Hhh.
***
Sehari. Dua hari. Tiga hari.
Arin masih menyetel mode silent terhadapku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut cerewetnya. Ia pun terlihat tidak bersemangat akhir-akhir ini. Matanya lebih sering menatap kosong ke arah langit. Sama-sekali tidak ada cerita di antara kami. Sampai-sampai, rasanya sudah hampir seluruh teman-teman di kelas bertanya padaku apa yang terjadi di antara kami.
Seminggu. Dua minggu.Tiga Minggu.
Aku benar-benar putus asa. Kupikir, tamatlah sudah ceritaku bersama Arindra. Seperti tidak ada kesempatan untukku memperbaiki hubungan kami. Dan aku bersumpah, baru kali ini aku benar-benar merasa sangat sedih. Satu-satunya masalah yang sampai membuat konsentrasi belajarku buyar. Kupikir ini melebihi  seseorang putus cinta.
“Pulang les nanti bareng gue, ya. Gue tunggu di parkiran”
Sebuah suara menyeretku kembali ke permukaan. Lamunanku buyar dan aku memandang tak percaya sebuah punggung yang mulai menjauh, yang baru saja berbicara satu kalimat super pendek padaku. Kalimat yang kutunggu-tunggu sejak beberapa minggu ini. Arindra mengajakku pulang bersamanya nanti? Terima kasih, Tuhan!
***
Jalanan mulai sepi ketika aku dan Arin dalam perjalanan pulang. Langit mulai menampakkan rona oranye yang menyilaukan mata. Senja datang.
“Rin…”
Tidak ada suara menyahut. Mobil tetap sunyi. Selepas kejadian di ruang OSIS siang itu, Arindra memang lebih banyak diam. Cewek yang biasanya super cerewet ini menjadi seseorang yang lupa apa fungsi mulut. Arin hanya akan berbicara ketika ada yang bertanya. Dan inilah yang membuatku sakit kepala memikirkannya. Aku merasa bersalah. Aku menyadari tidak ada yang lebih penting dari sahabatku sendiri. Sedalam apapun aku mencintai seseorang, sahabatku tetap menjadi yang paling kucintai. Dan dalam hal ini, Arin menjadi tokoh utamanya.
“Arindra, gue minta ma…”
“Udah, Fik, cukup. Gue udah gak mikirin itu lagi. “ katanya memotong ucapanku.
Aku menelan ludah. “Ma, maksud lo?”
Arindra menurunkan kecepatan mobilnya, lalu menatapku. “Gue udah gak mikirin itu lagi, Fikah sayang. Gue sadar dia gak sedikitpun tertarik sama gue, selama ini cuma gue sendiri yang enak-enakan bermain dengan segala khayalan tentang dia. Cuma gue sendiri. Untuk apa gue bertahan untuk orang yang jelas-jelas gak ‘melihat’ gue? Gue gak mau lebih lama terlihat menyedihkan, Fik. Ditto udah nggak ada di kepala gue.” Arin tersenyum. Aku bersumpah ini menjadi senyumnya yang paling manis yang pernah kulihat. Arindra-ku kembali.
“Nggak usah bego gitu dong tampang lo. Hahahaha. Kalo lo mau Ditto, ambil sana.” Celetuk Arin saat tahu aku masih memandanginya dengan wajah ‘tidak terpelajar’.
“Hah?”
“Pura-pura nggak tau lagi.” Cengir Arin. “Kita ini udah main bareng berapa tahun? Gue nggak buta kali, Fik, untuk tau kalo selama ini lo juga ada perasaan ke Kak Ditto. Bahkan jauh sebelum gue suka dia, kan?”
Aku semakin melongo.
Arin tertawa keras.
“Hahahaha Fikah, Fikah.. jelek banget tampang lo. Suer! Hahahaha” seru Arin di sela tawanya.
Aku segera tersadar. Berani taruhan wajahku pasti persis seperti buah tomat yang mulai membusuk sekarang. Dan tampangku tadi adalah yang paling hina di antara seluruh spesies di muka bumi ini.
“Aargh apaan sih lo, rese’ deh. Udah, mending kita lupain tuh cowok” kataku cepat berusaha menghentikan tawa menyebalkan Arin.
“Betul! Dan nggak boleh ada lagi yang bikin kita diam-diaman kayak beberapa hari kemarin.” Kata Arin dengan senyum lebarnya.
“Setuju” sahutku mantap. Kubalas senyumnya. Dalam hati aku berdoa semoga senyumku ini cukup manis untuk dilihatnya. Berdoa semoga Arin tidak menyadari keraguan dalam ekspresi wajahku.
Senja semakin indah. Senyum kami berdua bertebaran sepanjang perjalanan pulang. Candaan kami mulai terdengar. Dan sesekali tawa keras memenuhi setiap senti mobil.
Aku berjanji untuk tidak akan ada lagi yang bisa membuat kami saling mendiamkan satu sama lain. Tidak akan ada lagi yang bisa merusak persahabatan kami. Tapi mengenai perasaan ini…kuharap Arindra tidak keberatan memberiku waktu untuk mampu membuangnya jauh-jauh. Aku belum benar-benar bisa melupakan orang itu. Yang telah begitu lama kusimpan dalam hatiku. Dia terlanjur kupelihara.
Maaf, Rin.
Ternyata melupakan nggak semudah teori atom kimia di kelas kita. Gue lupa bagaimana cara untuk menelan dia hidup-hidup. Dia masih di sini, Rin. Masih di antara kita. Ditto masih ada dalam diri gue. Tapi gue janji, dia nggak akan jadi perusak persahabatan kita untuk kedua kalinya. Gue hanya perlu waktu mengikhlaskan. Gue hanya perlu lebih mengerti bahwa kenyataan ini nggak seindah cerita pengantar tidur.
Ditto benar tentang satu hal. Apa yang kita inginkan, tidaklah selalu menjadi yang kita inginkan.


***END (Cerpen; Sorry, I Love Him So Much)
Modisty

8 komentar:

  1. MANTEP Banget ceritanya :) banyak kata kata keren yang bisa dikutip :v

    BalasHapus
  2. Hai anjani, dari awal baca blog kamu speechless sumpah hahahaha ga nyangka ce yang umurnya jauh lebih muda dari aku bisa buat tulisan yang awesome bgt.. Bisa berasa "mak jleb" banget saluuut...
    Salam kenal ya..

    BalasHapus
  3. “Pulang les nanti bareng gue, ya. Gue tunggu di parkiran”
    Sebuah suara menyeretku kembali ke permukaan. Lamunanku buyar dan aku memandang tak percaya sebuah punggung yang mulai menjauh, yang baru saja berbicara satu kalimat super pendek padaku.

    yakin itu satu kalimat aja dan super pendek?hehe. kalo menurutku, kalimat yg diucapin arin tadi udh bukan kalimat pendek lagi deh.konfliknya msh belum bener2 kerasa, masih kurang gregetnya sih kalo menurutku.maaf y kalo sotoy :)

    BalasHapus
  4. @christmemory sitorus Waduh jadi gimana gitu dibilang begitu hehe tp makasih kak, jangan kapok mampir lagi yaa

    @PinkYmisSdeaR Makasih sudah baca,juga buat komentarnya ya kak. Hehe tulisan Modis blm apa-apa kok,tapi syukur deh kalo sdh ada yg bilang gitu :) jangan kapok yaa kak, salam kenal juga :)

    BalasHapus
  5. @avannoa Duh komentarnya membangun sekali kakak, makasih yaa. Iya, Modis memang kesulitan soal mengklimakskan alur. Mgkn ada saran? Trimakasih sudah mampir, jangan kapok yaa :)

    BalasHapus
  6. wah aku ngeritik blognya aja deh antara thema dan artikel terlalu agak suram ndak kelihatan jadi pembaca males mau bacanya

    BalasHapus
  7. Wah trims atas komentar blog saya. Sekarang bagaimana? Masih suram? :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.