Label:

Cerpen; Tinggal (Bagian 2)

Otakku serasa membeku ketika kalimat 'aku sayang kamu, Sif. Entah karena apa..dan aku gak ingin tau alasannya' yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Seperti tidak ada beban, seperti tulus dari hatinya, dan seperti..seperti tidak ada Emil. Sebisa mungkin ku sadarkan diriku, menarik kembali bahagia yang sempat menguap.

Tidak. Tidak mungkin, tidak semestinya begitu, Ri.

"Ri.. aku.."

Tanpa kuperintahkan, kedua kakiku melangkah dan cukup keras badanku menubruk bahu Ari yang tadi berdiri di hadapanku. Aku berlari masuk ke dalam rumah tanpa menutup pintu depan, tempat di mana Ari masih berdiri menunduk. Pertanyaan khawatir dan tatapan heran dari Mama dan kakakku tidak kupedulikan. Aku masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. Di saat seperti ini..aku benar-benar berniat agar alien atau makhluk luar angkasa apa saja menculikku dan membawaku pergi dari bumi untuk sementara. Atau membantingkan kepalaku pada tembok beton dan ingatanku hilang untuk saat itu saja. Siapa sajalah, katakan padaku bahwa ini mimpi!

Tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh!

Mengapa kamu harus mengatakan hal itu, Ri?
Di saat pertahananku mengenai Emil benar-benar payah, di saat kupikir persahabatan kita jauh lebih indah dari pada menunggu seseorang yang lama ditelan bumi, dan di saat seluruh jagad raya rasanya menunjukan betapa kamu lebih mencintaiku dari pada Emil.

Tidak dapat kututupi bahwa Ari lebih nyata dari pada Emil. Dia lebih ada.  Tapi bukan berarti aku memutuskan untuk menyerah pada perasaan yang bertahun-tahun telah kusimpan,kan?


Orang itu masih tersimpan rapi dalam hatiku. Posisinya tidak tergeser satu milimeterpun. Dia telah mengendap lama disana. Sampai-sampai rasanya hampir menguap dan hilang keluar bersama deru napas yang ku embuskan.

Kapan mau kembali? Relakah aku menjadi seorang pecundang karena lelah dan akhirnya menyerah menunggumu kembali? Sudah satu tahun aku menjalani sesuatu yang sangat ingin kubuang dari alur cerita hidupku. Alur cerita yang tidak adamu. Atau..bagaimana bila akhirnya aku mati konyol di kursi beranda rumah karena berhari-hari menantimu muncul di belokan jalan rumahku?

***
"Lupakan saja mengenai ucapanku waktu itu... aku cuma bercanda kok, Sif, hahaha" ucap Ari saat kami duduk bertiga di kafetaria kampus siang itu. Aku tidak menyahut. Ari pun kelihatannya tidak ingin membahasnya lebih jauh.

"Ucapan? Ucapan apaan, Ri?" tanya Eca.

"Mau tau aja lo hahaha" sahutku cepat. Aku rasa bukan pilihan yang tepat bila memberi tahu Eca di depan Ari. Dan kesalahanku adalah aku lupa bercerita padanya mengenai itu.

Eca bersungut-sungut jengkel. Aku hanya mengulum senyum tipis.

"Udah yuk, bentar lagi gue ada kuliah nih" ucapku seraya berdiri dan menarik tangan Eca meninggalkan kafetaria. "Duluan, Ri"

Bercanda. Ber-can-da. Bercanda? 

Masih terekam jelas dalam otakku bagaimana dengan entengnya dia mengatakan hanya bercanda. Seenteng saat dia mengucapkan kalimat yang membuatku ingin diculik alien waktu itu. Masih kuingat jelas bagaimana aku menghabiskan setengah kotak tisu karena ulahnya di depan rumahku kemarin. Dan sekarang dia mengatakan hanya bercanda? Hanya. Uh..

***
Entah bagaimana ini semua terjadi dan hanya kepada satu manusia dan obyektivitasnya yang selalu itu-itu saja. Sebut aja aku dan kamu. Cerita ini masih saja berlangsung, Mil. Segala macam hal yang seharusnya kuinginkan kebalikannya. Segala macam hal yang seharusnya aku benci, membuatku terus melupakan apa yang seharusnya aku ingat. Mereka masih ada, mereka tetap tinggal. Iya, mereka.. segala hal tentang kamu.

Bodohkah aku, Mil? Memutuskan memperjuangkan apa yang kuyakini. Meskipun hanya aku yang paling merasa ini tindakan yang benar. Hanya aku yang percaya bahwa suatu saat hanyalah kamu yang menempati kursi kosong pelaminanku nanti. Cepatlah kembali. Atau..datanglah barang lima menit. Bicaralah mengenai sebab kamu pergi tiga ratus enam puluh lima hari terakhir ini. Katakanlah bahwa yang masih kamu simpan itu aku. Dan mintalah aku untuk lebih bersabar lagi menunggumu. Lakukanlah.. Kembalilah.

Kututup notes sembari menarik napas panjang. Berharap bahwa udara yang hirup menjadi semacam kuota bagiku memperpanjang penantian ini. Aku di sini lagi. Di bawah pohon rindang halaman belakang rumah. Di hadapan kelok-kelokan jalanan yang sudah mulai sepi sore ini. Di waktu yang sama, ketika perlahan senja mulai merayap naik.

***

"Tunggu! Elo gak bis..."

Aku menoleh kebelakang. Eca berdiri disana bersama.. Ari. Napas cowok itu terlihat berderu, begitupun Eca.

"Ada apa?" kataku pelan. Firasatku mengatakan akan ada hal yang sangat buruk.

"Siffa. Lo harus ta..."

"Ari!" Eca berteriak keras. Memotong ucapan Ari yang belum selesai.

Napasku mulai memburu. Detak jantungku ikut berdegup tidak teratur. "Bilang ke gue ada apa?"


Bersambung

Modisty 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.