Label:

ALIF 2


ALIF 2


“Thank you for seeing museums in me, when i saw empty hallways.”

-Unknown-


Mereka bilang seperti mandiku, kamu muncul sekali-sekali.

Ceritanya dimulai di bawah atap-atap sekolah kita yang tua. Di sela-sela udara yang berembus dari dahan-dahan pohon ketapang menuju lorong-lorong itu, adalah kita yang tak saling bicara. Itu sehanya perjumpaan yang langka. Itu ialah bertokoh aku si malu-malu. Hobinya menyembunyikan diri, memandangimu jauh-jauh. Mengintip, meringis, memerah sedikit-sedikit, berdrama dari balik punggungmu yang lebar dan sibuk. Hubungan tak jelas itu berakar dari, antara kamu yang pura-pura atau benar tak tahu, atau aku yang kejagoan memainkan peran sebagai agen rahasia anarkis yang keras kepala. Maunya biar kamu tak usah sadar saja, maunya biar aku saja yang terus menyayangimu cupu-cupu. Kamu jadilah si Alif yang selalu mengagumkan orang-orang, yang banyak tertawanya tetapi tak bisa sering-sering tertawa bersamaku, yang aku akan absurd jadinya kalau tahu-tahu bilang, “ayo, kita pulang bareng dan makan mi tek-tek terenak sekota di ujung jalan sana.” Kamu kakak kelasku... mashaa Allah, bisa apalagi aku?

Cerita kita barangkali tak cukup menarik dijadikan bahkan sekadar skenario drama bersambung televisi yang paling receh. Apalagi menjadi sebuah opera sabun bertiket jutaan rupiah. Ini cuma perasaan serba salah yang lahir berkat obrolan-obrolan gaib di dalam layar telepon genggam. Perasaan yang terus tumbuh di antara derap langkah tergesa waktu pergantian pelajaran. Perasaan yang terus tumbuh meski rindu mesti mencari-cari redanya sendiri di sepanjang apel pagi. Perasaan yang terus saja mau tumbuh di ruas-ruas gerimis waktu jam pulang sekolah tiba dan kita berdiri berseberangan, berjauhan, berteduh masing-masing di tepian parkiran sekolahan, menanti hujan dan debaran dada mereda. Perasaan itu bahkan masih akan tumbuh tanpa peduli sama sekali bila hal-hal terburuk juga mungkin saja terjadi. Ada kedatangan ada kepergian. Ada yang bisa tumbuh, ada yang bisa layu.

Kita cuma apa, kata kita waktu itu, cuma mendebatkan terlalu banyak hal di terlalu banyak tempat di dunia maya, untuk lalu menyetujuinya. Kita cuma menertawakan lebih banyak lagi yang dilupakan orang-orang. Kita membuat simpul-simpul serupa dari sisi-sisi berbeda. Kita memang tak selalu sepakat, tetapi sepertinya kita sudah sepaket, begitu cetusmu dulu, menggemaskan di suatu waktu.

Kita cuma apa, cuma dua anak manusia yang masih amat batu kepalanya, banyak gayanya, besar angkuhnya. Manis, aku masih mampu dengan manis mengenangnya, meski tak  benar-benar mengingatnya.

Aku waktu itu memilih percaya kalau tak ada tak sengaja berlangsung di dunia ini. Tak ada juga yang dinamakan Tuhan kebetulan. Segalanya telah tercatat bahkan ketika kita berusia empat bulan dalam kandungan. Keajaiban-keajaiban ini ialah kumpulan rencana yang sukses dan menyenangkan dilaksanakan. Tetapi pun aku tahu, hidup tak pernah seserius itu. Aku waktu itu juga berpikir, kamu dan kebetulan-kebetulan yang merdeka bersama-sama kita bisa menjadi yang termanis yang bisa diadakan di muka bumi. Perlahan-lahan hanya seperti hal-hal baik diruntuhkan di tengah-tengah kita. Hujan sudah lama tak berkunjung datang, namun pelangi nyatanya bisa berada di mana-mana sekarang. Memenuhi sudut-sudut kota kita, eh, mu, kota kecilmu. Pelangi baru saja memenangkan pertarungan melawan kekeringan kemarau panjang. Pelangi juga yang menyejukkan isi kepala yang mendidih akibat kebanyakan ulangan harian. Pelangi baru kali ini kutahu sanggup sehebat itu.

Aku waktu itu berpikir, kita juga telah memenangkan seluruhnya.

Aku waktu itu berani-beraninya berpikir, aku suka, kamu suka, bisa apalagi kita?

Tak ada yang tahu siapa datang lebih dulu. Tak ada yang paham siapa mencari siapa. Tak juga mau peduli, aku katakan lagi, perihal rencana-rencana kehidupan yang ada jahat-jahatnya. Ada yang bisa menyakiti sedang yang lainnya merasa terluka. Lucu sekali, Alif, bahwa aku bisa-bisanya merasa mau serahkan segala yang kupunya agar selamanya kita dan kebetulan-ketulan itu terus berlangsung begitu saja.



Lasem, 8 September 2017
A Modisty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.