Label:

@modhistut: Tulisan Sabtu malam [Mei, 25/03:47]

Saya membuka kembali sekitar seratus sembilan belas hari ke belakang; banyak kebodohan menjadi penyebab hujan tidak menuntaskan sebuah kepergian, seperti katamu bukan? Saya kembali melayangkan ingatan, sebab apa saya begitu mudah berkata cinta dan menyerahkan diri begitu saja pada seorang yang seharusnya belum cukup fix untuk menjadi salah satu pemelihara kupu-kupu di dalam hati saya. Saya tidak tahu mengapa, hingga kamu begitu mudah untuk dicintai, dan sangat-sulit-dilupakan.. hingga sekarang. Bercermin pada apa yang telah kita sepakati, ada banyak hal menyenangkan dan begitu sederhana hingga cukup berharga untuk saya ingat bahkan mungkin sampai mati. Dan.. bercermin pada apa yang telah kita sepakati, bukankah pernah ada janji untuk sebuah kebiasaan akan mencinta selamanya?
Benar selalu menjadi kalimat-kalimatmu;
dari awal perjumpaan tidak beres di suatu dunia yang juga tidak beres. Kata-katamu selalu yang paling angkuh, selalu ingin dibenarkan dan sialnya Tuhan memang membenarkan, selalu menjadi doaku, dan akhirnya mendarahdaging padaku sebagai sebuah undang-undang yang tidak boleh dibantah. Hingga perjumpaan itu dipertemukan dengan sebuah perpisahan; benar masih saja selalu menjadi kalimat-kalimatmu, Sayang. Bahwa lembaran cerita seratus sembilan belas hari ke belakang tersebut  memang saya baca dengan lidah terbakar; puisi-puisi yang tinggal mengempas angin.
Menyedihkan. Semuanya terlihat begitu memalukan. Saya menutup wajah hingga ke ubun-ubun. Saya menutup hati dan tidak ingin lagi mencintai. Karena sesal yang datang kini begitu mengiris hati. Menyia-nyiakanmu adalah tolol dan saya melakukannya. Maaf.. sempatkah?
Memang tiada bulir air bah yang melintas kedua pipi, namun percayailah; penyesalan ini cukup perih.
Sekarang apalah yang bisa saya tanggung jawabkan pada bait-bait puisi yang belum terselesaikan? Ia merana sendiri di atas kertas putih tanpa tinta. Ia memeluk setiap sajak yang pernah ditulis, setiap romantisme yang pernah kamu agung-agungkan. Dan bagaimana dengan sang rindu? Saya pikir tidak lagi berarti sekadar di bibir; ia memaksa kembali pada si tuan pujangga yang terlanjur berlari.


Modisty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.