Label:

Cerpen; Diam-Diam

Trap trap trap. Kunaiki tangga dengan cepat, nafasku berderu,  jangan telat, jangan telat..

Yes. Dia belum datang!

Aku bersembunyi di belakang tembok putih sambil menyapukan pandangan ke halaman sekolah. Mataku bergberak menunggu sosok seseorang dari jalan raya.

Dimana dia.. Kok belum datang?

Semenit. Dua menit. Itu dia.

Hari ini dia memakai jaket merahnya dengan jam tangan hitam kesayangannya. Helmnya teropong plus motor cowoknya membuat dirinya terlihat lebih gagah. Dia memarkir motornya, melepas helm, dan turun dari motor. langkahnya yg mantap ditambah perawakannya yang tinggi besar sudah menjadi nilai plus bagiku. Belum lagi bagaimana ia berbicara, mengacungkan tangan, menatap mata, tersenyum tipis, dan semua semuanya. Hal-hal sederhana itu selalu menarik perhatianku. Setiap hari, di sekolah, di rumah, tempat les, dimanapun! Aaarghh..

Kebiasaanku mungkin bisa dibilang cukup mengerikan. Sudah sembilan belas kali aku harus bangun dan berangkat pagi-pagi sekali. Untuk apa? Tentu saja dia! Ya – dia.. Entah kenapa aku suka sekali melihatnya memerhatikan gerak-geriknya, pokoknya kalo tentang dia aku menjadi seorang pecinta!

Aku memandanginya berlama-lama, lamaaa sekali sampai cukup tahu bagaimana dia memegang sendok dan garpunya dengan kelingking terangkat sesekali.
Lalu apa selanjutnya? Menghilang dari pandangannya dan lari menjauh! Aku tidak ingin dia memergokiku. Tidak, pokoknya tidak. Jangan sampai ia tahu ada juniornya belagak seperti psikopat sedang memperhatikannya.

Siapa dia?
Senior dua tingkat di SMA-ku.
Yang kusuka.
Eh, bukan.
Kukagumi.
Eh bukan juga.
Kusuka deh. kusuka adalah kata yang paling pas. Tapi, dia tidak mengenalku, sama sekali tidak, atau mungkin tahu keberadaanku saja tidak. Lalu, Bagaimana denganku? Jangan tanyakan itu.
Aku tahu namanya, nama lengkapnya, hobinya, motornya, rumahnya, pelajaran kesukaannya, nilai rendahnya pada kelas apa, guru favoritnya, kebiasaannya makan siomay ikan di kantin depan sampai kapan pertama kali ia menangis sewaktu kehilangan balon berwarna merahnya saat umur tujuh tahunnya dulu. Mungkin aku yang paliiing tahu dia, apa-apanya dia, mungkin melebihi sahabatnya. Jauuuh aku lebih tau dirinya.

Ini apa? 

Suka? 

Jatuh cinta? Kalau begitu..ada tidak jenis jatuh cinta sampai tahu mengenai dirinya detail-detail dan selalu berusaha mendapatkan kabarnya bagaimanapun caranya.. ada?

***

Senyumku mengembang bila mengingat masa-masa itu. Sudah setahun berlalu sejak aku menjadi seorang stalker..em, mungkin lebih dari itu ya? Hahaha konyol. Bagaimana dia sekarang ya? Sekarang dia sedang sibuk pada kuliah tahun pertamanya. Aku sedang mencoba move on atau pensiun dari kebiasaanku yang mengerikan mengenai sosok berjaket merah itu. Aku tidak lagi datang pagi-pagi menunggunya datang, tidak lagi mengambil foto-fotonya saat pelajaran olahraga, atau apapun lah. Pokonya aku berhenti sampai di sini, toh tidak mungkin juga rasanya aku dengannya. terlalu jauh bayangan itu.

***

Ponselku bernyanyi nyaring. Nama Kak Mia tertera di layar.

"Kakak dimanaaa...Milla kering nungguin tauuu" serbuku langsung begitu ku tekan tombol 'jawab'

Terdengar tawa renyah dari seberang "Iya bawel, sebentar lagi sampai kok. Tadi nunggu Danu mandi dulu. Milla dimana?"

"Lagi beli popcorn. Cepet pokoknya cepeeet" Telepon langsung kumatikan. Bibir ku kumajukan dan kupasang wajah sekesal mungkin untuk kak Mia nanti. Awas saja. Kebiasaan molornya tidak pernah hilang dari dulu. Masih untung adik kecilnya yang cantik ini mau menemaninya nonton dan merelakan diri jadi obat nyamuk, sementara kak Mia enak-enak pacaran dengan Kak Danu. Huh.

"Telat setengah jam! Milla bebas biaya alias kak Mia ba-ya-rin." cibirku saat kak Mia datang dengan pacarnya dan... eh, siapa itu?

Sebentar.. sebentar..

"Dasar gak mau rugi. Padahal udah dibawain temen nih biar gak jadi obat nyamuk lagi hahaha" celetuk Kak Danu.

"Nih Andro. Kak-An-dro. Temen kampusnya Danu. Bilang makasih lo gue bawain temen" kata kak Mia yang membuat mulutku menganga lebar. Mungkin wajahku saat itu sangat tidak elegan kali ya.

Apa? Kak Mia bilang apa? Andro? Adrian Andromeda? Si pemilik jaket merah itu? Si pemakan siomay ikan kantin depan? Si...

"Milla!"

"Eh eh iya kak" kukatupkan bibirku. Bodoh, bodoh! kenapa malah membuat tampang blo'on di depannya Milaaa. Gerutuku dalam hati. "Halo, gue Milla, kak"

“Iya tau kok. Gue Andro. Gak jadi obat nyamuk lagi kan sekarang?”

Andro? Iyyaa gue tauuu bangeeet Andro. Kak-an-dro gue tau kok!

Andro, Andro, Andro.. Aku bahkan tau nama panjangnya, alamat rumahnya, ukuran sepatunya. Sudah setahun gue suka elo ndrooo huhuhu — rasanya ingin meneriakkan ini di telingamu!

"Hehehe iya ya, untung ada kakak"

Untung? Iya untung banget! Banget!
Akhirnya dia mengenalku!

***

Hari-hari berikutnya seperti durian runtuh bagiku. Aku dengan dia, Andro-ku, menjadi semakin dekat. Kami saling mengirim pesan, telepon, dan berbagai hal indah yang bagku dulu hanya sebuah impian kaleng kerupuk kosong.

Keluar bareng..senang.
Nonton..senang.
Ke toko buku berdua.. senang.
Jalan jalan..senang.
Makan eskrim siomay ikan..senang.

Hmm jalan jalan (lagi)..biasa.
Nonton..biasa.
Toko buku..biasa.

Hambar. Gini lagi. Gini lagi. Gini lagi. Gini aja terusss. Sampai kapan huhuhu. Udah hampir enam bulan aku dekat dengan Andro. Kemana..berdua. Kesini..berdua. Kesitu..berdua. Tapi apa? Pastinya apa kak? Huhuhu. Rasanya ingin aku berteriak di telinganya untuk meminta penjelasan hubungan macam apa ini.

Sampai pada siang ini, berbaur dengan pengunjung foodcourt, aku dan Andro menikmati makan dalam diam.

“La, gue mau ngomong nih. Penting.”

Nah loh.

“Heh? Apa kak? Tumben serius hahaha”

"Itu..gue.."  
“Maaf kak, Milla gak bisa"

Siang itu berakhir dengan penolakan yang sebenarnya sangat ingin kuhindari. Penolakan yang menjadi tindakan paling bodoh yang tidak mungkin kulakukan bila itu terjadi dua tahun lalu. Perasaanku saat ini sudah benar-benar hambar. Emm tidak sepenuhnya sih, sebetulnya rasa suka itu masih ada. Utuh jauh di dalam hatiku. Tapi jauuuuuh sekali, sampai-sampai tenggelam oleh perasaan-perasaanku yang lain. Tapi bagimana? Semuanya tidak pada waktunya. Cintaku tidak lagi bersemi. Sebetulnya aku takut menyesal menolak orang yang sempat membuat aku hampir gila..atau sudah gila? Entahlah. Tapi aku tahu, akan lebih menyakitkan bila aku menjadi pacarnya dan aku tidak lagi memiliki perasaan lagi untuknya. Sia-sia. Itu akan menyakiti diriku, terlebih dia. Lebih baik sendiri-sendiri, deh.
***

Dan sekarang?
Sudah setahun lagi terlewat. Kudengar kabar dia sudah bertunangan dengan teman satu fakultasnya. Dia sudah bahagia, tanpa sempat tahu aku memendam rasa begitu lama hingga rasa itu terkubur hidup-hidup, layu, tanpa sempat diberi pupuk.

Dua hari lalu aku bertemu dengannya. Masih dengan jaket merah dan jam tangan sedari SMA-nya. Wangi tubuhnya membuatku terdiam sesaat. Wangi yang selalu kurindukan dan membuatku bangun pagi-pagi sekali datang kesekolah. Dua hari lalu juga mata kami bertemu. Dia dengan wanitanya..dan aku? Memaksakan senormal mungkin, untuk tersenyum dan menyapanya ramah. Ada nada perih jauuuuuh di dalam hatiku. Dua tahun aku hampir gila karenanya, dan dia tidak peduli. Lalu dia datang di saat aku sudah muak dengan hubungan tidak jelasnya.

Aku tahu dia sempat menyukaiku, Namun ia tak tahu aku pernah juga begitu menyukainya. Kecintaannya! Dia tidak tahu, sangat tidak tahu.

Memang ya, cinta diam diam lebih menyakitkan daripada harus ditolak. Perasaan yang bertahun-tahun diabaikan dan tidak ada ujungnya juga. Perasaan yang hanya kusimpan dalam hatiku saja, tanpa pernah dia mengetahuinya.

Sudahlah.

Aku bukan jodohnya.

Dan, dia terlambat menjadi jodohku.

Mudah saja, kan?

***END (Cerpen; Diam-Diam)

Modisty

1 komentar:

  1. kok lebih mirip curhat ya? jangan-jangan ini pengalaman pribadi. haha.
    terus berkarya ya

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.