Label:

Cerpen; Tinggal

Matahari masih bersinar dengan cerah hari ini. Langit terhampar luas..biru, tanpa satupun titik putih. Hari ini masih sama seperti kemarin. Berjalan lambat sekali, sampai-sampai rasanya ingin ku pinjam mesin waktu Doraemon dan membuatnya lebih cepat lagi.

Aku bersandar di bawah pohon yang besar di halaman belakang rumahku. Di sinilah biasanya aku menghabiskan banyak waktu sendirian atau berdua bersamanya...sebelum dia pergi. Jalan raya seberang komplek tampak jelas dari sini. Kendaraan bermotor lalu lalang mengeluarkan suara bising. Jauh dari itu, kurasa hati dan pikiranku lebih berisik. Banyak suara dan kata-kata yang selalu melintas dan terngiang di kepalaku. Aku mendesah pelan mencoba untuk tenang. Meski aku tahu ni tidak akan berhasil.

Angin berhembus lembut menyapu tubuhku, kesejukannya mengelus kulit wajahku. Perlahan mempermainkan kerudungku dengan lembut. Napas panjang ku hela, lelah. Kemana pun aku berlari dia selalu mengikuti dan sekuat apa pun aku menekannya dia terus muncul. Tapi semua sudah terlambat.. meski aku mengakuinya dan ingin membebaskannya, semua tidak ada artinya lagi. Lalu.. aku harus berbuat apa?

Aku menatap ke depanku. Kendaraan masih banyak lalu lalang. Kebisingan di pikiranku membuatku tidak memperhatikan sekelilingku. Aku bangkit berdiri dan memutuskan untuk kembali ke dalam rumah.

***
Kampus mulai ramai. Aku berjalan di koridor dengan langkah lebar. Beberapa mahasiswa melirikku.
Ku fokuskan pandanganku pada ruang kuliah yang tinggal beberapa meter di depan. mencoba tidak menghiraukan tatapan-tatapan itu. Aku masuk dan duduk di bangku depan. Bangku-bangku sudah hampir sepenuhnya terisi. Tatapan masing-masing pemilik bangku itu lagi-lagi tajam ke arahku.

“pagi cantik" itu selalu yang kamu ucapkan. Dulu.

Sekarang hanya dalam pikiranku kamu menari-nari. Setelah akhirnya aku mengalah pada cita-cita besarmu, aku yakin aku sanggup. Kupikir semuanya mudah, aku hanya tinggal menunggumu dan kamu baik-baik di sana sampai kita bertemu lagi.. kupikir. Tapi mengapa sesulit ini? Menahan untuk tidak tersenyum untukmu, menahan rindu pada candaan dan tingkah usilmu. Sulit. Masih ada beribu-ribu kilometer di tengah-tengah kita. Masih ada sifat kekanakanku, ketakutanku yang begitu besar bila seandainya kamu kembali dan bukan lagi untukku. Sekarang bisakah kamu bayangkan rasanya menjadi aku?

"Siffa" aku menoleh. Eca melangkah cepat menuju bangkuku, cengiran khasnya di sana. 

"Hei"

"Kenapa lo?" katanya sambil meletakkan tas lalu duduk di sebelahku. "Emil? Siffaa..udah deh. Ngapain lo sedih-sedih mikirin dia? Dia gak kemana-mana, cuma jarak di antara kalian."

"Iya. Cuma jarak" Sahutku pendek. Sengaja ku tekankan pada kata 'cuma'. Cuma kali ini tidak sekedar cuma, Eca..

"Dan karena itu memperburuk perasaan lo ke dia? Terus apa artinya teori 'harus percaya' yang selama setengah jam lu khotbahin ke gue waktu itu? Ha?"

"Ini beda. Lo gak ngerti. Udah, gue gak mau ribut sama lo"

Sahutanku terakhir itu membuat Eca langsung kunci mulut. Sahutan yang merupakan mantra keramatku bila benar-benar dalam mood yang buruk.

Dosen masuk. Kuliah berlangsung sangat membosankan. Rasanya ingin sekali ku bekap mulut dosen berkacamata tebal itu. Rumus-rumus yang keluar dari mulutnya seperti musik dalam kaset rusak, berisik.

"Sst. Sif" Eca menyikutku pelan

"Heh?"

"Ari gimana? Gue belom sempet jenguk" bisiknya.

"Gak tau. Yang gue tau banget adalah hampir seluruh mahasiswa angkatan kita nyalahin gue atas kejadian itu"

"Biarin aja. Mereka gak tau apa-apa" kata Eca lalu beralih ke depan karena dosen sudah mulai memperhatikan kami.

Biarin aja? Andaikan semudah itu Ca untuk gak gue peduliin. Ari di rumah sakit memang karena gue. Keegoisan gue lebih memilih perasaan gue sendiri dari pada dia. Kalo bisa waktu dibalikin, gue mau banget ngulangin waktu. Maafin gue, Ri. Seandainya gue gak minta tolong lo buat anterin gue ke bandara untuk mengejar Emil, mungkin lo gak akan... ah. Maafin gue, Ri..

***

Satu bulan tanpa kabar dari Emil. Aku semakin yakin perasaan ini sia-sia. Aku tidak tahu bagaimana Emil di negeri menara Eiffel itu. Sedangkan satu bulan juga aku memerankan tokoh sebagai 'perawat' Ari di rumahnya, dalam rangka menebus kesalahanku padanya tentu saja.

Bagaimana bisa dipercaya bila seseorang masih mencintai kekasihnya yang jauh di belahan dunia yang lain,yang tanpa kabar, tidak berhubungan, bahkan sekedar satu pesan singkat pun tidak. Sementara setiap harinya bertemu dengan laki-laki lain, menjaga, merawatnya. Tapi kenyataannya ada. Emil masih tidak terganti sampai detik ini.

Semua orang mengatakan aku bodoh, tolol, dan semacam itu; kecuali Eca tentu saja. Aku juga sebenarnya lelah. Menunggu sesuatu yang rasanya tidak ingin kutunggu. Emil seperti menghilang. Dia seperti meninggalkanku begitu saja. Kata-kata manisnya, cengiran khas dan janji kelingkingnya seperti kaleng kerupuk saja bagiku sekarang. Hari demi hari kuhabiskan untuk berdoa agar ada satu telepon saja darinya. Hari demi hari kuterima dorongan-dorongan untuk melupakan Emil dan menerima Ari di sampingku. Bisikan-bisikan semacam 'Siapa yang selalu ada buat lo? Ari kan' atau 'Bukan Emil yang ada di sini, Sif. Tapi Ari' selalu memenuhi telingaku. Ku kibaskan tangan sambil berkata 'sudahlah, Emil pasti datang kok' untuk meredakan itu semua. Tidak ada yang tahu bagaimana perihnya hatiku saat itu. Airmataku selalu mengalir di dalam kamar mandi kampus setiap seusai kuliah. Tidak ada yang tahu bila sebetulnya aku juga ingin menghancurkan pertahanan ini. Aku juga ingin berhenti menyakiti hati Ari. Tapi jauh di dalam hatiku menolak, bayangan Emil lagi-lagi menguasaiku. 

"Hei cantik"

Sapaan itu... tidak mungkin.. tidak mungkin.. tidak mungkin!

Lamunanku berantakan, dengan cepat aku berbalik dan... cengiran cewek berkucir tinggi di sana. Gigi kelincinya berbaris rapi dengan mata menyipit. 

"Ecaaaaaaaa"

"Hahahaha..siffa siffa..coba lo liat gimana ekspresi lo tadi. Hahahahahahaha"

"Lucu banget ca, lucu-banget!" cibirku.

"Dih ngambek. Udah tua masih juga mainnya ngambek-ngambekan hahahaha"

"Iyaaaa terus aja ketawa" Kataku sambil mengacungkan sebelah sepatuku ke arahnya. Eca terbahak.

"Hahaha ampun ampun. Iya gue berhenti ketawa deh hahaha sampe sakit perut gue, Sif hahaha" katanya sambil memegangi perutnya "Terus gimana nih Tuan Putri, melajutkan penantian sang pangeran?"

"Mau gimana lagi? Masalah hati ca.." jawabku pelan lalu tersenyum tipis. Eca manggut-manggut di sampingku. Dirangkulnya pundakku sambil diusapnya lembut. Eca mendukungku. Selalu. Cewek berwajah kekanakan tu selalu berada di sampingku. Dengan cengiran menjengkelkan dan tawa mengejek setiap kali aku curhat padanya, Eca tidak pernah meninggalkanku. Setidaknya Eca tidak sepertimu, kan, Mil.

Ku tatap hamparan langit di atas kepalaku. Ronanya mulai memerah. Lalu-lalang jalanan di hadapan kami pun mulai mulai lengang. Lampu kendaraan sudah jarang menyilaukan mata dari kejauhan. Semilir angin malam mulai datang menamu. Ku rapatkan jaketku dan saling bersandar dengan Eca.

Duniaku cukup indah, kok, Mil. Tapi bisakah kamu membuatnya lebih indah lagi? Bisakah secepatnya kamu kembali? Rindu loh, Mil.. rindu.

Dan di bawah langit senja kota Jakarta, satu air mata lagi jatuh sambil menunggumu. Mil.. cepat kembali.

***END (Cerpen; Tinggal)

Modisty

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.