Label:

Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah? #2



“kalian.. mau apa ke sini?”

Christopher, kakak tertua Jonathan berdiri dan berkata dingin. Di sampingnya, Priscilla, kakak keduanya ikut berdiri. Memandang kami tidak bersahabat. Terlebih kepadaku. Kuremas jemari Jo di tangan kananku. Memohon untuk menguatkan aku.

“kami cuma mau melihat keadaan Mama”

“lo masih inget Mama? Masih inget keluarga?” kata Priscil tajam

“kak, tolong.. biar sebentar. Jo juga mengkhawatirkan Mama, bagaimana pun Jo masih keluarga ini”

“setelah enam tahun lamanya ninggalin rumah demi perempuan macem dia, gitu maksud lo?” tandas Chris tajam “Mama begini juga karena lo. Dia mikirin lo yang malah memilih hidup dengan wanita seperti dia.”

Jonathan tidak menjawab lagi,
ia mengembuskan napas sabar. Kulihat dadanya naik-turun menahan emosi. Gantian, aku meremas jemarinya, memintanya agar tidak bertengkar di saat seperti ini. Jo menarik tanganku mengikutinya berdiri lebih dekat dengan tempat tidur. Aku memperhatikan ibu mertuaku. Wajahnya sangat pucat, hampir seperti tidak ada darah mengalir di dalamnya. Ia terbangun, matanya membuka perlahan.

“ngg!! Nggg.. ngg!!”

Tanpa kusangka-sangka, pekikan kemarahan meluncur dari bibirnya yang pasi. Tubuh beliau mengejang kesana-kemari, memberontak, menendang-menendang.  Matanya melotot menatapku. Siapapun yang melihatnya akan mengerti bahwa wanita cantik itu hendak menampar aku saat itu juga andai ia sanggup. Chris dan Priscil bergerak menenangkannya.

“ngg!! Nggg.. nggg!!!”

Aku menunduk dalam jilbabku. Pelupukku basah. Mataku berkaca-kaca menahan tangis. Hatiku rasanya seperti di hujam  ribuan pisau daging. Perih.. seberapa besar kebenciannya padaku? Sampai-sampai dalam keadaan sekarat seperti itu saja ia masih berniat menamparku. Seberapa besar dosaku padanya? Seberapa salah aku telah sangat mencintai anak laki-lakinya?

“pergilah! Cukup jelas bila kalian hanya ingin melihat keadaan Mama. Pergilah! Kehadiran kalian disini hanya akan memperburuk keadaannya” Christopher berteriak sementara ia masih sibuk menahan berontakan Ibunya.

Jonathan menarik tanganku, berniat membawaku keluar dari ruangan itu.

“CUKUP!!”

Ruangan seketika senyap. Kurasakan delapan pasang mata menatapku terkejut. Pipiku menghangat, tetes demi tetes air membasahinya.

“Nabila tidak mengerti bagaimana bisa, Mama, Papa, kak Chris, dan kak Priscil membenci Nabila sebesar ini. Nabila tidak pernah berhasil menemukan alasan kalian tidak pernah menerima Nabila lebih baik dari ini” air mataku semakin merembes. Wajahku sudah basah kuyup, entah karena keringat atau airmata aku tak peduli. Kepalaku menunduk dan bahuku bergetar hebat. Semua orang di ruangan itu masih diam. Jonathan mulai merangkulku lembut.

“dari awal Nabila bersama Jonathan, sampai pernikahan kami menginjak enam tahun ini, Nabila masih tidak tahu penyebab Nabila mencintainya. Nabila hanya merasa dialah jodoh Nabila dari Tuhan. Sekalipun tidak ada satupun orang ikut berbahagia karena kami berdua. Sekalipun begitu begitu banyak orang menolak dan memusuhi” aku menghela napas panjang “Nabila tidak mengharapkan apapun, harta, warisan atau apalah, tidak! Nabila hanya bermimpi dan selalu berdoa kalian semua menerima Nabila. Sebagai salah satu bagian dari kalian.. Nabila hanya ingin diterima..”

“Nabil..”

“Mama, Nabila minta maaf bila Mama merasa Nabila telah merebut Jonathan dari keluarga ini. Nabila hanya mencintainya dan Nabila percaya Jo juga demikian. Maafkan Nabila bila perasaan ini salah. Maafkan Nabila atas hadirnya kebencian yang sebegini besarnya dalam hati Mama, Papa, Kak Chris, kak Priscil dan keluarga ini.”

“Nabil, sayang.. sudah..” kurasakan tangan Jo mengusap kepalaku. Aku semakin terisak.

“Nabila minta maaf.. atas semuanya. Atas perasaan Nabila, atas kesalahan Nabila mencintai dan memiliki Jonathan. Nabila ikhlas bila Nabila memang harus meninggalkan Jonathan. Nabila rela bila hal itu dapat meredakan setidaknya sedikit saja kebencian kalian pada Nabila. Nabila, Nabila rela.. Nabila hanya ingin dicintai, sama seperti bagaimana Nabila mencintai kalian.. Nabila sangat mencintai kalian. Sekali lagi maafkan Nabila”

Aku melepaskan diri dari rangkulan Jo. Tanpa membuang banyak waktu, aku melangkah pergi dan keluar dari ruangan itu. Kaki-kaki kecilku berlari cepat-cepat menyusuri lantai-lantai rumah sakit. Air mataku masih saja belum berhenti mengalir. Sesekali tanganku menghapus air mata yang padahal memang tidak bisa lagi ditahan.

Benar-benar hancur sekarang. Sakit hati yang biasanya kulupakan begitu saja tiba-tiba meluap, seolah-olah aku menimbunnya berlama-lama dan mereka semua serempak keluar. Rasa ngilu dan perih mengiris hatiku pelan-pelan, menyakitkan.. Pernikahan yang damai yang ku idam-idamkan sejak dulu tidaklah pernah ku dapatkan. Rumah tangga yang harmonis dan berkumpul dengan keluarga besar suamiku tidak pernah terwujud. Aku hanya dianggap sebagai menyebab kehancuran keluarga besar pasteur gereja itu.

Ya Allah.. berikan Nabil ketabahan yang lebih dari pada ini.. Berikan Nabil sedikit saja kekuatan-Mu. Nabil merasa beban ini semakin berat menimpa bahu Nabil. Nabil hampir tidak sanggup menyelesaikan cobaan dari-Mu ini. Kuatkan Nabil, Nabil hanya ingin membahagiakan.. Nabil hanya ingin menghapus kebencian itu.. Nabil hanya ingin dicintai, walaupun itu tidak sebesar Nabil mencintai..

***

Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Aku masih bersama Jonathan. Aku masih saja sangat mencintainya, tentu saja. Aku tidak akan meninggalkannya begitu saja setelah selama ini bertahan. Aku terlanjur mencintai laki-laki ini. Ku tatap Jonathan yang tidur membelakangiku. Beberapa hari ini menjadi hari-hari yang sulit baginya. Aku tau seberapa banyak beban pikirannya telah menumpuk. Mengenai aku dengan keluarganya, juga mengenai kondisi Mamanya yang semakin memburuk.

Tiga hari lalu pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Ibu mertuaku itu harus sesegera mungkin mendapat seorang pendonor hati. Livernya telah mengeras dan berujung pada kanker. Jonathan sangat syok mendengar berita tersebut. Dimana ia akan dengan cepat menemukan pendonor organ tubuh yang tidak mudah dicari itu? Sementara menurut hasil pemeriksaan kemarin, diantara Jo dan Christopher tidak ada yang memiliki kecocokan hati dengan Mama Jonathan. Sedangkan dengan kondisi hamil tua, Priscilla lebih tidak mungkin untuk mendonorkan hatinya.

Bisa kulihat mendung tebal yang menggelayut di wajah lelaki ini. Sinar wajahnya yang selalu kusukai memudar, matanya menyorotkan kesedihan mendalam. Bahkan sejak kabar itu diberikan, selama itu juga Jo menjadi lebih pendiam. Ia juga mulai malas makan dan mengerjakan apapun. Aku hanya bisa duduk di sampingnya dan menggenggam lembut kedua tangannya, berharap itu dapat sedikit saja menguatkan.

Apa yang bisa kulakukan sekarang?  Apa yang bisa kubuktikan sebagai perempuan yang mengaku sangat menyayanginya? Apa yang bisa kuperbuat selain menahan air mata perih melihatnya sebegini terluka?

Seakan tanpa diperintah, tanganku meraih telepon genggam di atas meja.

“Halo? Selamat malam.. Iya ini Nabila. Ada yang ingin Nabil bicarakan.. ada waktu besok siang? Baik.. terima kasih.. maaf mengganggu malam-malam”

Klik.

Aku terpaku. Setengah sadar mempercayai apa yang baru saja aku lakukan.

Benarkah, Nabila? Benarkah kamu sudah memiliki keikhlasan sebesar itu?

Kurebahkan lagi tubuhku menghadap Jonathan yang masih membelakangiku. Kuusap lengannya pelan.. Bisa kurasakan kesedihan yang dirasakannya. Andai bisa sedikit saja aku ingin meringankan perasaannya. Sedikit saja.. aku ingin menjadi seorang istri yang tidak hanya dianggap sebagai perusak keharmonisan keluarga besar suaminya. Malam itu aku tetap terjaga sampai matahari menampakan lagi jingganya.

***

“kamu yakin dengan keputusanmu? Kamu sudah tau resiko setelahnya kan, Nabil?”

Aku diam. Kuangkat kepalaku dan mengangguk lemah.

“ini tidak main-main, Nabila.. ini juga menyangkut perasaan dan kebahagiaanmu”

“Nabila yakin, Nabila mengerti dengan segala resikonya”

Laki-laki setengah baya di hadapanku mengangguk. Dengan raut wajah tidak yakin, ia membetulkan letak kacamatanya dan menatapku dalam. “satu lagi, berjanjilah kamu tidak akan menyesalinya”

Aku mengangguk lagi. Anggukan yang lebih mantap dari sebelumnya.

***

“KAMU GILA! Nggak mungkin.. bilang sama aku kamu hanya bercanda. Bilang, Nabil, bilang!”

 Continued


Modisty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.