24 Juli 1999, Jakarta
Aku menatap ke luar jendela. Memandangi satu-per-satu bulir-bulir embun bening yang bergerak membelah dedaunan. Meluncur perlahan tanpa perlawanan. Seakan-akan ikhlas merelakan dirinya untuk jatuh dan akhirnya mengempas tanah. Hancur, tetap tanpa airmata.
Aku menatap ke luar jendela. Memandangi satu-per-satu bulir-bulir embun bening yang bergerak membelah dedaunan. Meluncur perlahan tanpa perlawanan. Seakan-akan ikhlas merelakan dirinya untuk jatuh dan akhirnya mengempas tanah. Hancur, tetap tanpa airmata.
Seandainya semudah itu.. seandainya aku memiliki keikhlasan sebesar
itu..
Pandanganku beralih pada sebuah
punggung yang membelakangiku. Berulang kali tangannya sibuk melepas dan
menempelkan telepon genggam. Berulang kali, sepuluh, ah, bahkan mungkin duapuluh
kali sebuah nomor mengabaikan panggilannya. Keringat sebesar-besar biji jagung
bergantian timbul dan tenggelam dari pelipisnya. Aku yakin tangannya pun sudah
basah oleh keringat dingin. Tidak diragukan lagi, raut wajahnya menunjukan
kekhawatiran yang amat-sangat.
Ia berbalik, menggeleng lemah.
Bibirnya memaksakan sebuah senyum aneh.
Hatiku teriris melihatnya, dia berantakan sekali..
“apa ini masih baik-baik saja,
Jo?” aku berkata pelan “apa tidak sebaiknya kita menyerah dan kamu bis..”
“ssstt” telunjuknya membungkam
bibirku “jangan memulai lagi, Nabila. Kita sudah terlalu sering membahas ini.
Kamu tetap bersamaku”
Aku menatapnya ragu, sekuat
tenaga menahan airmata yang sudah akan melesak keluar di sudut mataku. Ini terlalu perih, Jo..
“semuanya kan baik-baik saja,
percayalah”
Bagai disihir, aku mengangguk.
Sebisa mungkin kuberikan senyum, sebisa mungkin tidak terlihat aneh di matanya.
Selalu seperti ini. Selalu aku mempercayai kata-katanya, dan hatiku akan terasa
tenang karenanya. Bagaimana pun keadaan kami, semuanya kan baik-baik saja, seperti katanya. Aku mencintai
Jonathan dengan berbagai macam kesialan. Sial kami tidak satu kepercayaan. Sial
aku tidak satu bibit, bebet, bobotnya.
Sial kami tidak mendapat restu dari pihak manapun, baik keluargaku, apalagi
keluarganya. Dan sial, aku sangat mencintai segala macam kesialan-kesialan itu.
Jonathan terlahir dari sebuah
keluarga berpendidikan, terpandang.
Ayahnya seorang pasteur salah satu gereja di tengah kota. Garis keluarganya
sangat terhormat. Aku berani bersumpah bahkan hingga sampai keturunan ketujuh
sekalipun, aku yakin dalam silsilah keluarganya tidak akan ada yang seperti
aku; anak seorang pekerja batubara yang sudah dicekoki berbagai macam ilmu
agama islam. Aku muslimah, dan dia bukan.
Bukankah satu hal itu saja seharusnya sudah sangat tepat sebagai alasan
ayah ibuku sangat membenci Jo?
Entah karena apa, sebanyak apapun
perbedaan demi perbedaan diantara kami, cinta tumbuh di sana. Aku menyayanginya
sekarang mungkin sampai rela bila harus menyerahkan nyawaku untuknya. Sesinis
apapun lengkung senyum ibundanya padaku setiap kami bertemu, semenyakitkan
apapun sumpah serapah ayahnya, cinta itu tetap tumbuh, tumbuh, dan tumbuh lagi.
“tenanglah, aku yakin Mama tidak
apa-apa. Kita akan segera menemuinya” ujarnya merangkul bahuku, menyandarkan
kepalaku pada bahunya.
“aku memikirkannya, Jo. Terakhir
yang ku tau dokter sudah memvonis liver padanya..”
“biar kutanyakan pada Dennis
nanti, dia pasti tahu dan mau memberitahuku” katanya lalu bergegas merapikan
isi ranselnya “aku berangkat dulu, baik-baiklah sampai aku pulang”
Aku mengangguk. Ia mengecup
dahiku lembut lalu hilang di balik pintu depan. Aku memandangi punggungnya dari
kejauhan. Akhirnya, apa yang sedari tadi kutahan-tahan keluar juga. Sebutir air
meluncur melintas pipi kiriku. Aku menunduk, tanganku meremas kuat satu sama
lain.
Mengapa aku selemah ini.. padahal dia sekalipun tidak pernah menampakan
airmatanya, raut sedih dan putus asa pun tidak. Mengapa aku tidak sekuat
Jonathan? Ini terlalu berat. Di usia ke lima tahun pernikahan kami, tidak
satupun restu kami dapat. Mereka membenci satu sama lain. Orangtuaku dan
orangtuanya. Mengapa serumit ini? Kami hanya saling mencintai, kami ingin
saling menjaga sampai kami mati nanti. Apakah salah kami bila cinta memaksa
bersemi?
Telepon berdering. Aku menghapus
airmataku dan mengangkatnya
“Assalamua..”
“mana Jonathan?” sebuah suara
bernada dingin menyela salamku yang belum selesai.
Kak Priscil..
“Jo baru saja berangkat ke
kantor, kak. Mungkin ada pesan yang bisa Nabil sampaikan?
“tidak usah”
“tunggu kak,” seruku ketika
telepon akan ditutup
“apa?”
“bagaimana keadaan Mama?”
“untuk apa kamu menanyakannya?
Dan.. apa tadi, ‘mama’? Cuih. Dengar ya, kamu tahu persis keberadaanmu di
samping Jo tidak kami inginkan. Sedikit pun kami tidak pernah merasa kamu
adalah anggota keluarga ini. Apa kamu tidak pernah bercermin? Seharusnya dari
awal kamu tidak memaksakan diri, seharusnya pernikahan itu tidak pernah ada.
Sadarlah diri, kamu bukan bagian dari kami, sedikit
pun tidak”
Klik. Telepon diputus.
Aku terduduk. Air mataku
dulu-duluan keluar jatuh di pangkuanku. Aku terisak. Ini terlalu perih, bahkan
ketika sudah berulang kali aku menerima cacian semacam tadi, aku masih belum
juga baik-baik saja karenanya. Aku masih akan terisak, meskipun sudah terbiasa.
Kalimat-kalimat pedas seperti itu layaknya makanan sehari-hariku. Aku sendiri
sangat tahu mereka sangat
membenciku. Mereka menganggap akulah penyebab
Jo menjadi menentang Mama Papanya, keluarganya. Mereka juga menganggap aku lah
penyebab Jo meninggalkan rumah sejak di bangku kuliah dulu.
Tubuhku bersandar lemas pada
bantalan sofa. Mataku membengkak dan terasa sangat berat. Tanpa kutahu kapan
persisnya, aku terlelap dengan sebuah mimpi indah. Mimpi tentang aku dan
Jonathan akan bersama-sama selamanya, sampai kami menua. Dengan lembab
sisa-sisa tangisan tadi, aku tersenyum dalam tidurku.
***
Kaki-kakiku melangkah cepat.
Sebisa mungkin menyamakan dengan langkah-langkah besar Jonathan disampingku.
Lorong demi lorong rumah sakit kami lewati dengan hati berdebar. Setelah Jo
berhasil membujuknya, Dennis, sepupunya, akhirnya mau memberitahukan di mana
Ibundanya di rawat.
Ini dia. VVIP 206.
Kami berhenti di depan pintu. Aku
memandang Jo takut-takut. Bila disuruh memilih, aku lebih baik menunggu di
lobby saja tadi. Tapi Jo memaksaku ikut dan melihat keadaan Mama.
Dengan satu gerakan, Jo
menggandeng tanganku kuat-kuat dan mendorong pintu hingga terbuka. Terbaring di
sana, sebuah tubuh pucat dengan berbagai macam selang di tubuhnya. Sesosok
wanita yang biasanya tersenyum sinis dengan kalimat-kalimat menyakitkannya
padaku. Aku membekap mulutku, pandanganku tak percaya. Bagaimana pun beliau
membenciku, bagaimana pun seluruh keluarga tidak menginginkan keberadaanku,
sungguh hatiku teriris melihat keadaannya sekarang. Perih. Beliau tergolek
lemah tidak berdaya. Tidak ada lagi sorot mata memusuhi. Entah hilang kemana
cibiran angkuh dari bibirnya. Semuanya tidak sama, beliau terlihat begitu kesakitan.
"kalian.. mau apa ke sini?"
Continued
Modisty
Next click --> http://andjanimodisty.blogspot.com/2013/07/cerpen-maafkan-nabila-sekali-saja_6.html
BalasHapuscerita yang bagus :D tak sabar menunggu kelanjutannya gimana :)
BalasHapuskunjungi juga ya http://fandhyachmadromadhon.blogspot.com/2014/01/we-love-you-nyunyucom.html
kasian ya :')
BalasHapuskunjungi balik http://bhawara-it.blogspot.com
keren cerpennya. buat penasaran nih. ditunggu lanjutannya ya
BalasHapus@Zegaisme: Yang ini sudah tamat, bro:)
BalasHapusUntuk semuanya, cerpen yang ini sudah tamat:) Bisa di cek di labels Cerpennya
BalasHapus