“KAMU GILA! Nggak mungkin..
bilang sama aku kamu hanya bercanda. Bilang, Nabil, bilang!”
Aku menunduk. Tubuhku kaku di
tempat. Sekedar mengangkat kepala dan memandang kemarahannya saja aku tidak
berani. Aku pengecut di saat-saat seperti ini.
“Nabila..”
“maafkan aku, Jo..” potongku
cepat “aku tau aku salah karena memberi tahumu setelah semuanya terlambat untuk
dibatalkan. Maaf.. aku.. aku hanya merasa inilah yang harus aku lakukan. Ini..
ini karena aku
mencintainya Jo..”
mencintainya Jo..”
Ia diam. Kuberanikan diri
mengangkat kepalaku menatapnya. Wajahnya
merah padam menahan emosi. Tangan kanannya mengepal keras. Dadanya naik-turun
mengatur napas.
“tapi tidak dengan ini. Kamu tau
masih ada banyak pilihan lain. Masih..”
“apa?”
“....”
“tunjukkan padaku pilihan lain
itu. Bahkan setelah satu minggu menunggu pun pilihan lain itu tetap saja tidak
datang. Jangan bohongi dirimu sendiri, Jo, jangan lagi. Berhentilah bersikap
baik-baik saja. Hidup ini akan bosan terus-menerus kau sebut baik-baik saja. Ia
akan memberontak. Sesekali hidup perlu pembuktian bahwa kamu juga mencintainya.
Sesekali ia ingin diperjuangkan..”
Jonathan menarik napas panjang,
aku merasakan kelelahan yang amat sangat dari helaan napasnya. Perlahan aku
menghampirinya. Kulingkarkan kedua tanganku padanya. Memeluknya dari belakang, dalam
hati berdoa bisa sedikit saja mengurangi rasa sakitnya.
“jangan khawatir, Sayang. Aku
masih Nabila-mu. Sampai mati Nabila-mu, Jonathan”
***
23 September 1999, Jakarta
-Jonathan Wii-
NABILA NUR’ASSYIFA
Ku tatap sebuah nama yang
terpahat dalam sebuah batu persegi di hadapanku. Dingin. Namanya jelas di sana.
Bidadariku, separuh diriku, hidupku. Dari awal kuputuskan mencintainya, hingga
aku tidak dapat berhenti melakukannya. Benar, sampai ia mengembuskan nafas
terakhirnya ia masih saja menjadi yang paling kucintai. Bidadari itu.. seorang
perempuan hebat meninggalkanku dengan segaris senyuman terakhir yang ia berikan
tepat di depan pintu ruang pembedahan. Segaris senyum yang tidak akan pernah
aku lupakan. Wajahnya terlihat begitu tenang, damai, kebahagiaan terpancar di
sana. Tidak peduli bagaimana sesungguhnya aku tau iya menahan tangis ketika
melihat orang tua dan orang-orang yang disekelilingnya menangis memandanginya,
Nabila tetap tersenyum dan mengusap tanganku lembut. Menenangkan. Seolah ia
takkan pernah meninggalkan. Hanya buket bunga ini, tulip putih, bunga kesukaannya
yang bisa menyampaikan setiap rinduku yang berserak. Tulip putih yang selalu
tergeletak manis di atas pusaranya.
Nabila telah menyerahkan hatinya.
Benar-benar hatinya, kepada seseorang
yang setengah mati membenci dan menolak keberadaannya. Ia dengan tulus
menukarkan nafas dan kedipan matanya pada seorang wanita yang selama ini hanya
tau dia adalah perusak keharmonisan keluarga besarnya.
Wanita itu.. Ibuku.
Aku tidak habis pikir bagaimana
beruntungnya aku menikahi seorang perempuan berhati malaikat ini. Ketulusan
hatinya benar-benar mengalahkan segala macam kecantikan wanita manapun. Aku
tidak habis pikir bagaimana ia melakukannya.. memiliki hati sebesar itu? Ketika
begitu banyak cercaan dan makian ia terima, cintanya yang begitu besar seakan
tidak padam. Ia benar-benar mencintai. Nabila...
“Jonathan...”
“Mama”
“secepat ini dia pergi” wanita
itu berjongkok disebelahku, meletakkan tangan kanannya pada bahuku “secepat ini
bahkan sebelum Mama sempat ucapkan terima kasih”
“...”
“inikah bentuk pembalasannya pada
Mama, nak? Ini kah hukumannya untuk Mama?” Mama terisak.
“Ma”
“beginikah wujud kemarahannya
pada Mama, Jo? Perih sekali, Jonathan, perih..” airmatanya mulai menetes,
cepat-cepatan jatuh, merembas ke dalam tanah menggunung di hadapan kami.
“Ma”
“Mama merasa begitu hina. Mama
merasa manusia tanpa perasaan, Jo. Sisa hembusan nafasnya hanya sebagai yang
paling Mama benci. Selama hidupnya hanya sumpah serapah Mama. Mama, Mama kotor,
Jo.. Mama tidak punya perasaan..”
“Ma”
“pantaslah Nabil begitu marah dan
menghukum Mama seperti ini. Meninggalkan Mama dan sebagian dirinya hidup di
dalam diri Mama. Tanpa sempat ia menerima ‘terimakasih’, tanpa sempat ia
menerima ‘maaf’ dari mulut ini. Nabil pan...”
“Mama!” Aku menyentakkan bahunya,
menghentikan ocehannya yang semakin mengiris-iris ulu hatiku. “Nabil tidak
pernah marah, atau balas dendam pada Mama. Apa lagi menghukum Mama, tidak!”
“...”
“dia malaikat Ma, Nabila tulus
menitipkan sebagian dirinya pada Mama.” Suaraku tercekat “Nabila mencintai
Mama, sangat.. selalu, Ma”
“...”
“Nabila tidak pernah berpikir
Mama tidak berperasaan, ia mencintai Mama tulus. Mungkin cintanya pada Mama
lebih besar dari pada ia mencintai Jo. Nabila bahagia melakukan ini..
percayalah, Ma”
Ku sandarkan kepala Mama pada
bahuku. Ia menangis di sana. Kepalanya berguncang terisak, airmatanya terasa
membanjiri kedua pundakku. Sejenak kami diam. Menikmati bagaimana Nabila ‘hidup’
di dalam diri kami masing-masing. Hanya sesekali bising angin mengusik telinga,
dan bunga kamboja berjatuhan menimpa kepala kami. Kami bersedih untuknnya,
airmata ini untuknya.
“bacalah” kataku kemudian.
Mama menjauhkan diri ketika
kuangsurkan selembar kertas yang mulai menguning “Jo tidak tahu ini apa, Nabila
mengatakan ini hanya untuk Mama. Percayailah setiap huruf yang Mama baca,
percayailah Nabila tidak pernah berbohong dengan apa yang ia tulis...”
***
Untuk Mama.
Sewaktu Mama membaca tulisan ini mungkin Nabila sudah tidak di samping
Mama lagi. Sudah tidak menjadi perempuan yang sering Mama teriaki. Nabila
bahagia di sini, Ma. Nabila hanya ingin mengatakan, betapa ingin Nabila
mendapat restu atas pernikahan ini. Betapa rindu Nabila celotehan bawel ibu
mertua semestinya. Maaf Nabila tidak pandai berpuitis, Ma, Nabila terbiasa
mengatakannya langsung. Nabila sayang Mama, Nabila selalu mencintai Mama
dibalik semua kata-kata pedas dan airmata Nabila setelahnya. Nabila selalu
merindukan untuk berada dalam pelukan Mama.
Hanya ini yang bisa Nabila lakukan untuk membuat Mama berna-benar
percaya Nabila sangat mencintai Mama.
Ma, Nabila minta maaf bila selama ini Nabila tidak pernah menyenangkan
hati Mama. Nabila selalu jadi perusak, pengganggu
dan membuat Mama sebesar ini membenci
nabila.
Nabila titip Jonathan, ya, Ma. Katakan selalu Nabila mencintainya. Nabila tidak pergi ke mana-mana. Nabila selalu bersama Mama dan Jonathan. Nabila ada di dalam hati Mama.
Maafkan Nabila, ya, Ma.. sekali saja.. bisakah?
Sayang, rindu Mama.. Nabila.
***END (Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah?)
Modisty
Knp ga dibuat cerita FTV sekalian aja, hehe
BalasHapusPembukanya bagus, endingnya bagus, tapi di tengah-tengah saya berasa seperti lagi nonton sinetron.
BalasHapusOverall kece, bisa bikin saya nangis, hih. :-/
@ Dyah Duh terimakasih sekali kalo itu pujian, tapi saya belum apa-apa ah kak :)
BalasHapus@Aprie Terimakasih komentarnya ya kakak, untuk airmatanya juga.
Bisa addback g+ saya? Jangan kapok mampir yaa :)