Label:

Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah? #3, END



“KAMU GILA! Nggak mungkin.. bilang sama aku kamu hanya bercanda. Bilang, Nabil, bilang!”

Aku menunduk. Tubuhku kaku di tempat. Sekedar mengangkat kepala dan memandang kemarahannya saja aku tidak berani. Aku pengecut di saat-saat seperti ini.

“Nabila..”

“maafkan aku, Jo..” potongku cepat “aku tau aku salah karena memberi tahumu setelah semuanya terlambat untuk dibatalkan. Maaf.. aku.. aku hanya merasa inilah yang harus aku lakukan. Ini.. ini karena aku
mencintainya Jo..”

Ia diam. Kuberanikan diri mengangkat kepalaku menatapnya.  Wajahnya merah padam menahan emosi. Tangan kanannya mengepal keras. Dadanya naik-turun mengatur napas.

“tapi tidak dengan ini. Kamu tau masih ada banyak pilihan lain. Masih..”

“apa?”

“....”

“tunjukkan padaku pilihan lain itu. Bahkan setelah satu minggu menunggu pun pilihan lain itu tetap saja tidak datang. Jangan bohongi dirimu sendiri, Jo, jangan lagi. Berhentilah bersikap baik-baik saja. Hidup ini akan bosan terus-menerus kau sebut baik-baik saja. Ia akan memberontak. Sesekali hidup perlu pembuktian bahwa kamu juga mencintainya. Sesekali ia ingin diperjuangkan..”

Jonathan menarik napas panjang, aku merasakan kelelahan yang amat sangat dari helaan napasnya. Perlahan aku menghampirinya. Kulingkarkan kedua tanganku padanya. Memeluknya dari belakang, dalam hati berdoa bisa sedikit saja mengurangi rasa sakitnya.

“jangan khawatir, Sayang. Aku masih Nabila-mu. Sampai mati Nabila-mu, Jonathan”

***

23 September 1999, Jakarta
-Jonathan Wii-

NABILA NUR’ASSYIFA

Ku tatap sebuah nama yang terpahat dalam sebuah batu persegi di hadapanku. Dingin. Namanya jelas di sana. Bidadariku, separuh diriku, hidupku. Dari awal kuputuskan mencintainya, hingga aku tidak dapat berhenti melakukannya. Benar, sampai ia mengembuskan nafas terakhirnya ia masih saja menjadi yang paling kucintai. Bidadari itu.. seorang perempuan hebat meninggalkanku dengan segaris senyuman terakhir yang ia berikan tepat di depan pintu ruang pembedahan. Segaris senyum yang tidak akan pernah aku lupakan. Wajahnya terlihat begitu tenang, damai, kebahagiaan terpancar di sana. Tidak peduli bagaimana sesungguhnya aku tau iya menahan tangis ketika melihat orang tua dan orang-orang yang disekelilingnya menangis memandanginya, Nabila tetap tersenyum dan mengusap tanganku lembut. Menenangkan. Seolah ia takkan pernah meninggalkan. Hanya buket bunga ini, tulip putih, bunga kesukaannya yang bisa menyampaikan setiap rinduku yang berserak. Tulip putih yang selalu tergeletak manis di atas pusaranya.

Nabila telah menyerahkan hatinya. Benar-benar hatinya, kepada seseorang yang setengah mati membenci dan menolak keberadaannya. Ia dengan tulus menukarkan nafas dan kedipan matanya pada seorang wanita yang selama ini hanya tau dia adalah perusak keharmonisan keluarga besarnya.

Wanita itu.. Ibuku.

Aku tidak habis pikir bagaimana beruntungnya aku menikahi seorang perempuan berhati malaikat ini. Ketulusan hatinya benar-benar mengalahkan segala macam kecantikan wanita manapun. Aku tidak habis pikir bagaimana ia melakukannya.. memiliki hati sebesar itu? Ketika begitu banyak cercaan dan makian ia terima, cintanya yang begitu besar seakan tidak padam. Ia benar-benar mencintai. Nabila...

“Jonathan...”

“Mama”

“secepat ini dia pergi” wanita itu berjongkok disebelahku, meletakkan tangan kanannya pada bahuku “secepat ini bahkan sebelum Mama sempat ucapkan terima kasih”

“...”

“inikah bentuk pembalasannya pada Mama, nak? Ini kah hukumannya untuk Mama?” Mama terisak.

“Ma”

“beginikah wujud kemarahannya pada Mama, Jo? Perih sekali, Jonathan, perih..” airmatanya mulai menetes, cepat-cepatan jatuh, merembas ke dalam tanah menggunung di hadapan kami.

“Ma”

“Mama merasa begitu hina. Mama merasa manusia tanpa perasaan, Jo. Sisa hembusan nafasnya hanya sebagai yang paling Mama benci. Selama hidupnya hanya sumpah serapah Mama. Mama, Mama kotor, Jo.. Mama tidak punya perasaan..”

“Ma”

“pantaslah Nabil begitu marah dan menghukum Mama seperti ini. Meninggalkan Mama dan sebagian dirinya hidup di dalam diri Mama. Tanpa sempat ia menerima ‘terimakasih’, tanpa sempat ia menerima ‘maaf’ dari mulut ini. Nabil pan...”

“Mama!” Aku menyentakkan bahunya, menghentikan ocehannya yang semakin mengiris-iris ulu hatiku. “Nabil tidak pernah marah, atau balas dendam pada Mama. Apa lagi menghukum Mama, tidak!”

“...”

“dia malaikat Ma, Nabila tulus menitipkan sebagian dirinya pada Mama.” Suaraku tercekat “Nabila mencintai Mama, sangat.. selalu, Ma”

“...”

“Nabila tidak pernah berpikir Mama tidak berperasaan, ia mencintai Mama tulus. Mungkin cintanya pada Mama lebih besar dari pada ia mencintai Jo. Nabila bahagia melakukan ini.. percayalah, Ma”

Ku sandarkan kepala Mama pada bahuku. Ia menangis di sana. Kepalanya berguncang terisak, airmatanya terasa membanjiri kedua pundakku. Sejenak kami diam. Menikmati bagaimana Nabila ‘hidup’ di dalam diri kami masing-masing. Hanya sesekali bising angin mengusik telinga, dan bunga kamboja berjatuhan menimpa kepala kami. Kami bersedih untuknnya, airmata ini untuknya.

“bacalah” kataku kemudian.
Mama menjauhkan diri ketika kuangsurkan selembar kertas yang mulai menguning “Jo tidak tahu ini apa, Nabila mengatakan ini hanya untuk Mama. Percayailah setiap huruf yang Mama baca, percayailah Nabila tidak pernah berbohong dengan apa yang ia tulis...”

***

Untuk Mama.

Sewaktu Mama membaca tulisan ini mungkin Nabila sudah tidak di samping Mama lagi. Sudah tidak menjadi perempuan yang sering Mama teriaki. Nabila bahagia di sini, Ma. Nabila hanya ingin mengatakan, betapa ingin Nabila mendapat restu atas pernikahan ini. Betapa rindu Nabila celotehan bawel ibu mertua semestinya. Maaf Nabila tidak pandai berpuitis, Ma, Nabila terbiasa mengatakannya langsung. Nabila sayang Mama, Nabila selalu mencintai Mama dibalik semua kata-kata pedas dan airmata Nabila setelahnya. Nabila selalu merindukan untuk berada dalam pelukan Mama.

Hanya ini yang bisa Nabila lakukan untuk membuat Mama berna-benar percaya Nabila sangat mencintai Mama.

Ma, Nabila minta maaf bila selama ini Nabila tidak pernah menyenangkan hati Mama. Nabila selalu jadi  perusak, pengganggu  dan membuat Mama sebesar ini membenci nabila.

Nabila titip Jonathan, ya, Ma. Katakan selalu Nabila mencintainya. Nabila tidak pergi ke mana-mana. Nabila selalu bersama Mama dan Jonathan. Nabila ada di dalam hati Mama. 

Maafkan Nabila, ya, Ma.. sekali saja.. bisakah?

Sayang, rindu Mama.. Nabila.


***END (Cerpen; Maafkan Nabila Sekali Saja.. Bisakah?)
Modisty

3 komentar:

  1. Knp ga dibuat cerita FTV sekalian aja, hehe

    BalasHapus
  2. Pembukanya bagus, endingnya bagus, tapi di tengah-tengah saya berasa seperti lagi nonton sinetron.
    Overall kece, bisa bikin saya nangis, hih. :-/

    BalasHapus
  3. @ Dyah Duh terimakasih sekali kalo itu pujian, tapi saya belum apa-apa ah kak :)

    @Aprie Terimakasih komentarnya ya kakak, untuk airmatanya juga.

    Bisa addback g+ saya? Jangan kapok mampir yaa :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.